K.H.
HASYIM ASY’ARI
SINOPSIS
Disusun untuk Memenuhi Tugas UTS
Mata Kuliah: Sejarah Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Maftukhah, M.SI
Disusun oleh:
Zeni Ngindahul Masruroh
103111106
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
K.H.
HASYIM ASY’ARI
A.
Biografi K.H. Hasyim
Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari nama lengkapnya
adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-Wahid ibn ‘Abd al-Halim.[1] K.H.
Hasyim Asy’ari (Lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871) adalah anak
ketiga dari sepuluh bersaudara, dari keluarga kiai. Ayahnya, K.H. Asy’ari
adalah pendiri Pesantren Keras, sedangkan kakeknya K.H Usman pengasuh Pesantren
Gedang, masih di wilayah Jombang. Pesantren Tambak Beras, yang terletak di
barat kota Jombang, didirikan oleh ayah kakeknya, K.H. Sihah.[2]
Ibu beliau bernama Halimah.
Sejak kecil, Hasyim sudah terbiasa
mengikuti pelajaran agama dari orang tuanya di pondok Gedang. Ia dikenal cerdas
dan rajin belajar. Karenanya, dalam usianya yang masih relatif muda, 13 tahun,
ia sudah bisa membantu orang tuanya mengajar para santri yang usianya jauh di
atas dirinya. Dalam usia 14 tahun, beliau mulai berkelana dari pesentren ke
pesantren. Mula-mula ke pondok Wonokoyo (Probolinggo), lalu Langitan (Tuban),
Trenggilis (Semarang) kemudian ke Syaichona Cholil di Demangan (Bangkalan). Di
lanjut lagi ke Siwalanpanji (Sidoarjo) asuhan K.H. Ya’qub Hamdan. Sampai
akhirnya dijadikan menantu oleh Kyai Ya’qub.
Setelah menikah, Ia melanjutkan
pendidikannya di Mekkah, dan bermukim di sana selama tujuh bulan. Kembali lagi
ke tanah air, namun tidak lama. Tahun 1893 ia kembali lagi ke Mekkah
melanjutkan pendidikannya dengan bermukim tujuh tahun lamanya. Selama di Mekkah
ia belajar dalam bimbingan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syeikh Nawawi
Banten, dan Syeikh Mahfudz at-Tarmisi (Pacitan). Di samping belajar kepada
belasan ulama besar yang lain. [3]
Pada tahun 1899 beliau pulang ke
Indonesia. Setelah pulang ke Indonesia, Beliau mengajar di pesantren milik
kakeknya, Kiai Utsman. Kemudian Beliau mendirikan Pesantren Tebuireng, sejak
tahun 1900, Hasyim memposisikan pesantren Tebuireng menjadi pusat pembaruan
bagi pengajaran Islam tradisional. Dalam pesantren itu, bukan hanya ilmu agama
yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf
latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum,
berorganisasi dan berpidato. K.H. Hasyim Asy’ari bukan hanya seorang kiyai
ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses.[4]
K.H. Hasyim Asy’ari wafat pada 7
Ramadhan 1366/25 Juli 1947, ketika benteng pertahanan Hizbullah-Sabilillah di
Singosari direbut tentara Belanda. K.H. Hasyim Asy’ari dimakamkan di belakang
Pesantren Tebuireng.[5]
B.
Peranan K.H. Hasyim
Asy’ari
Setelah petualangan yang panjang dan
kembali ke kampung halaman, Kiyai Hasyim Asy’ari mulai merintis pendirian
pesantren yang akan dijadikan sebagai tempat pengabdian kepada umat. Awalnya, mendirikan pesantren di Tebuireng
bukanlah hal yang mudah karena wilayah tersebut dikenal sebagai tempat
orang-orang yang tidak mengerti agama dan berperilaku buruk. Masyarakatnya suka
merampok, berjudi, dan berzina. Keluarga dan teman-temannya telah beupaya
menyakinkan agar kiyai Hasyim mengurungkan niatnya. Namun, dengan tegas
berpendapat, “Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia. Jika
manusia itu sudah baik, apa yang akan diperbaiki lagi daripadanya. Berjihad
artinya menghadapi kesukaran dan memberi pengorbanan. Contoh-contoh ini telah
ditunjukkan Nabi kita dalam perjuangannya.”[6]
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi
Kyai Hasyim dalam mendirikan pesantren hampir tidak dapat ditanggulangi
beberapa waktu. Terganggu oleh kedatangan yang tidak menyetujui kebiasaan
mereka, penduduk desa menggunakan segala cara untuk mengganggu kehidupan santri,
Kiyai, dan juga keluarganya. Mereka bahkan sering menusuk dinding bambu
pesantren dengan pisau yang dapat membahayakan penghuni pesantren.untuk
menanggulangi hal ini, Kyai Hasyim mengundang beberapa kiyai dari Cirebon untuk
mengajari ilmu bela diri kepada para santri. Gangguan-gangguan terhadap
pesantren ini berlangsung selama satu setengah tahun. Setelah periode ini,
hubungan antara penduduk desa dan masyarakat pesantren mulai membaik, dengan
meningkatkan pengaruh pesantren pada masyarakat sekitar.[7]
Pesantren
tersebut terus berkembang dengan pesat, santri yang semula hanya 28 orang
kemudian bertambah terus dari tahun ke tahun sampai mencapai ribuan orang.
Meraka itu bukan hanya datang dari daerah yang dekat, melainkan juga dari
berbagai pelosok tanah air. Kehidupan Kyai Hasyim banyak tersita untuk membina
santri-santrinya. Dalam kehidupan sehari-hari Kyai Hasyim dikenal sebagai orang
yang sangat disiplin dengan waktu. Waktunya diatur sedemikian rupa, sehingga
tidak sedikitpun yang berlalu tanpa aktifitas yang berarti. Biasanya Beliau
mengajar sebelum dan sejam sesudah shalat lima waktu. Beliau juga terbiasa
mengajar sampai larut malam. Pada bulan Ramadhan beliau mengajar hadits Bukhari
dan Muslim yang diikuti oleh santri dari berbagai pesantren untuk mendapatkan
ijazahnya. Demikianlah kerja rutin Kyai Hasyim, seluruh waktunya diabdikan
untuk agama dan ilmu.[8]
Peranan K.H.
Hasyim Asy’ari selain daripada mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng ialah
keikutsertaan beliau mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU)[9],
bahkan beliau dipercaya memimpin organisasi itu sebagai Rais Akbar. Jabatan ini
dipegangnya beberapa periode kepengurusan. Pada tahun1930, dalam Muktamar NU
ke-3 Kiyai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai
organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai qanun
asasi jamiah NU (Undang-undang Dasar Jamiah NU). Intisari dari qanun
asasi itu mencakup: (1) latar belakang berdrinya jamiah NU, (2) hakikat dan
jati diri Jamiah NU, (3) potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung
NU, (4) perlunya Ulama bersama (ijtima’), saling mengenal (ta’aruf),
rukun bersatu (ittihad), dan saling mengasihi satu sama lain (ta’alluf)
di dalam satu wadah yang dinamakan NU, dan (5) keharusan warga NU bertaqlid
pada salah satu pendapat imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali.
Selain itu
K.H. Hasyim Asy’ari juga pernah duduk dalam pucuk pimpinan MIAI (Majelis Islam
‘Ala Indonesia) yang kemudian menjadi Masyumi. Begitu pula dalam gerakan pemuda
dan kelasykaran, seperti: GPII Muslimat, Hizbullah, Sabilillah, Barisan
Mujtahidin dan lain-lain, beliau menjadi penganjur dan penasehatnya. Dalam
gerakan tersebut, beliau bukan saja mengorbankan buah pikirannya, tetapi juga
harta bendanya.
Karena
demikian besar peran yang dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam membina dan
menggerakkan masyarakat melalui pendidikan dan organisasi yang didirikannya,
maka pada tahun 1937 beliau didatangi oleh seorang amteran tinggi penguasa
Belanda yang akan memberikan tanda kehormatan pemerintah Belanda kepadanya,
yaitu sebuah bintan emas. Namun Kiyai Hasyim dengan tegas menolak pemberian
itu, karena khawatir keihklasan hatinya dalam berjuang akan terganggu dan
ternodai oleh hal-hal yang bersifat material. Hal ini menunjukkan bahwa beliau
seorang ulama yang teguh dan kuat berpegang pada prinsip kebenaran yang
diyakininya.[10]
C.
Karya-karya K.H.
Hasyim Asy’ari
Sebagai seorang intelektual, K.H.
Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan
peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya.
Karya-karya tulis K.H. Hasyim Asy’ari yang terkenal diantaranya adalah:
1.
Adab al-alim wa
al-muta’allim fima yahtaj ilaib al-muta’allim fi ahwal ta’allum wa ma yatawaqaf
‘alaib al-mu’allim fi maqamat ta’limih
2.
Zayadat ta’liqat,
radda fiha manzhumat al-syaikh ‘Abd Allah bin Yasin al-Fasurani allati
bihujubiha ‘ala Ahl lam’iyyah Nahdlat al-‘Ulama
3.
Al-Tanbihat
al-wajibat Liman yashna’ al-maulid al-munkarat
4.
Al-Risalah
al-jami’at, sharh fiha ahwal al-mauta wa asyrath al-sa’at ma’ bayan mafhum
al-sunnah wa al-bid’ah
5.
Al-Tibyan fi al-nahy
‘an muqathi’ah al-ikhwan, bain fih ahammiyat shillat al-rahim wa dharur
qath,iha
6.
Al-Risalat
al-tauhidiyah, wahiya risalah shaghirah fi bayan ‘aqidah ahl al-sunnah wa
al-jamaah
7.
Al-Qalaid fi bayan
ma yajib min al-aqaid.
Namun, cukup disayangkan bahwa
sejumlah karya K.H. Hasyim Asy’ari itu tidak seluruhnya dapat diperoleh oleh
masyarakat umum secara bebas. Ada sebagian karya-karya beliau yang belum
dipublikasikan. Dimungkinkan yang belum dipublikasikan itu disebabkan karena
dokumentasi yang kurang maksimal. Terbukti, perhatian organisasi ke-NU-an
kurang terlihat dalam mendokumentasikan dan mempublikasikan karya-karya K.H.
Hasyim Asy’ari, yang merupakan founding father NU.
Sungguhpun demikian, dari sebagian
karya K.H. Hasyim Asy’ari dan data-data yang tersedia itu cukup memberikan
ketertarikan bagi sebagian intelektual untuk melakukan penelitian dari berbagai
perspektif. Terbukti terdapatnya penelitian yang memfokuskan baik pada
ketokohan K.H. Hasyim Asy’ari maupun pada pemikiranya yang relatif banyak.
Bahkan, penelitian itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri an sich,
tapi juga di luar negeri.[11]
DAFTAR
PUSTAKA
Fadeli,
Soeleiman dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah,
Surabaya: Khalista, 2008
Khuluq, Lathifatul,
Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, Semarang: Lkis, Tth
Misrawi, Zuhairi,
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderat, Keumatan, dan Kebangsaan,
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 57
Mohammad, Herry,
Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani, 2006
Nata, Abuddin,
Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005
Roziqin, Badiatul,
dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009
Suwendi, Sejarah
dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004
Zuhairini
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010
Biografi penulis
Nama :
Zeni Ngindahul Masruroh
Alamat :
Durenan, Garangan, Kec. Wonosegoro, Kab. Boyolali
Pendidikan
Formal : SDN Garangan Wonosegoro Boyolali
MTs Darussalam Bandung Wonosegoro Boyolali
MAN 1 Suruh Kab. Semarang
IAIN Walisongo Semarang
Non Formal : Ponpes Putra Putri Darussalam Bandung
Wonosegoro Boyolali
Ponpes Putri Darul Ulum Reksosari Suruh Kab.
Semarang
Ponpes Putri Al Hikmah Tugurejo Tugu Semarang
Motto : Kita adalah orang yang tau
tentang diri kita
Email : Zeni.Masruroh@gmail.com
FB : Zenma Syafta
[1]
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 113
[2]
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta:
Gema Insani, 2006), hlm. 21
[3]
Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah,
Amaliah, Uswah, (Surabaya: Khalista, 2008), cet. 2, hlm. 221-222
[4]
Badiatul Roziqin dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta:
e-Nusantara, 2009), cet. 2, hlm. 247
[5]
Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah,
Amaliah, Uswah, hlm. 224
[6]
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderat, Keumatan, dan
Kebangsaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 57
[7]
Lathifatul Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy’ari,
(Lkis), hlm. 38
[8]
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hlm.
122
[9]
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2010), cet.10, hlm. 205
[10]
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hlm.
122-123
[11]
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 140-142
god job... postingnya
ReplyDelete