PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
(PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN)
I.
PENDAHULUAN
Dalam proses pejalanannya, Islam
selalu memberi perubahan bagi suatu negara. Perubahan-perubahan tersebut baik
dalam bidang politik, sosial, dan peradaban. Ini karena Islam selaku agama
telah mengajarkan aturan-aturan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam
cakrawala kehidupan solidaritas umat Islam sedunia. Sebagaimana peradaban Islam
di Indonesia, betapapun kebudayaannya sangat minim dibandingkan dengan
peradaban Mughal (India) yang memiliki simbol Taj Mahal, di Indonesia peradabannya
sangat sederhana, miskin. Namun Islam yang datang ke Nusantara membawa kemajuan
(Tamaddun) dan kecerdasan.
Dengan kedatangan Islam masyarakat
Indonesia mengalami transformasi dari masyarakat agraris feodal ke masyarakat
kota. Karena Islam pada dasarnya adalah perkotaan (Urban). Peradaban Islam pada
hakikatya juga Urban dengan bukti-bukti Islamisasi di Nusantara bermula dari
kota-kota pelabuhan, dikembangkan atas perlindungan istana, sehingga kemudian
menjadi pengembangan ekonomi, intelektual dan politik. Akibat pengaruh Islam
inilah Nusantara menjadi maju dalam bidang perdagangan secara Internasional.
Namun kedatangan pedagang Barat, transformasi ini menjadi terganggu. Betapa
tidak, Islam datang tidak dengan melakukan penjajahan dan peperangan, melainkan
dengan damai. Sebaliknya Barat datang ke Nusantara dengan melakukan penjajahan
dan politik pecah belah dengan tujuan menguasai perdagangan, ekonomi, dan
kekayaan alam yang terkandung di wilayah Nusantara ini.[1]
Dengan kedatangan bangsa barat ke
Indonesia, bagaimanakah peradaban Islam di Indonesia pra dan pasca kemerdekaan
? Berikut makalah kami akan menyajikan tentang peradaban Islam di Indonesia pra
dan pasca kemerdekaan.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Peradaban Islam pada Masa Pra-Kemerdekaan ?
B. Bagaimana Peradaban Islam Pasca Kemerdekaan ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Peradaban Islam
Pra-Kemerdekaan
1.
Birokrasi Keagamaan
Pertumbuhan
komunitas Islam di Indonesia bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumatra, Jawa, dan Pulau lainnya. Hal ini di karenakan penyebaran Islam di
Indonesia pertam-tama dilakukan oleh para pedagang. Kerajaan-kerajaan Islam
yang pertama berdiri juga di daerah pesisir seperti: Samudra Pasai, Aceh,
Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari sana kemudian Islam
menyebar kedaerah-daerah sekitar.
Di
samping merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibukota kerajaan juga
merupakan tempat berkumpul para ulama dam mubaligh Islam. Ibn Bathutah
menceritakan, sultan kerajaan samudra pasai, Sultan Malik al-Zahir, dikelilingi
oleh ulama dan mubaligh Islam, dan raja sendiri sangat menggemari diskusi
mengenai masalah-masalah keagamaan. Di Aceh, raja-raja mengangkat para ulama
sebagai penasehat dan pejabat di bidang keagamaan. Kedudukan ulama sebagai
penasehat raja tidak hanya di Aceh saja, tetapi juga terdapat di kerajaan-kerajaan
Islam lainnya. Disamping sebagai penasehat raja, para ulama juga duduk dalam
jabatan-jabatan keagamaan yang tingkat dan namanya berbeda-beda antara satu
daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut qadhi.
Ulama
sangat berperan di samping sebagai penyebar agama juga berpartisipasi dalam
bidang pendidikan. Ada dua cara yang dilakukan oleh para ulama terkait dengan
bidang pendidikan. Pertama, membentuk kader-kader ulama yang akan
bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan
di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren atau
langgar di Jawa, Dayah di Aceh dan Surau di Minangkabau. Waktu belajar diatur
sesuai dengan kondisi pesantren masing-masing. Mata pelajaran yang terpenting
adalah Ushuluddin, Ushul Fiqh, fiqh dan Arabiyah. Kondisi pendidikan semacam itu
berlangsung dan terus berkembang terus menerus dari tahun ke tahun sampai
sesudah tahun 1900. Para pemimpin pergerakan Nasional sadar bahwa
penyelenggaraan pendidikan yang seperti itu harus dirubah dan memasukkan
pendidikan yang bersifat Nasional ke dalam perjuangannya. Maka lahirlah
sekolah-sekolah partikular atas usaha perintis kemedekaan. Sekolah itu
mula-mula bercorak sesuai dengan polotik seperti Taman Siswa, Kesatrian,
Institut dan lain-lain yang bercorak Islam.
Cara
kedua yang dilakukan ulama adalah melalui karya-karya yang tersebar dan di baca
di berbagai tempat yang jauh. Karya-karya tersebut mencerminkan perkembangan
pemikiran dan ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu. Di antara ilmuan
muslim pertama di Indonesia adalah:
a.
Hamzah Fansuri
Seorang sufi terkemuka yang berasal dari Fansur (Barus)
Sumatra Utara. Karyanya yang terkenal berjudul Asrarul Arifin fi Bayan ila
Suluk wa at-Tauhid, suatu uraian singkat tentan sifat dan inti ilmu kalam
menurut teologi Islam. Karya-karyanya yang lain di antaranya adalah Syair
Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab al’Asyikin
b.
Syamsuddin as-Sumatrani
Beliau adalah murid dari Hamzah Fansuri, Beliau
mengarang buku yang berjudul Mir’atul Mukminin (Cermin orang-orang beriman)
yang berisikan tanya jawab tentang ilmu kalam
c.
Nuruddin al-Raniri
Al-Raniri dikenal sebagai orang yang sangat giat membela
ajaran ahlussunnah waljamaah. Karya-karya beliau meliputi berbagai cabang ilmu
pengetahuan, seperti ilmu fikih, hadits, akidah, sejarah, tasawuf, dan sekte-sekte
agama. Di antara karya-karyanya ialah al-Shirath, al-Mustaqim, Bustan
al-Salathin dan Asrar al-Insan fi Ma’rifati al-Ruh wa al Rahman.
d.
Abdur Rauf Singkel
Ia menghidupkan kembali ajaran tasawuf yang sebelumnya
dikembangkan oleh Hamzah Fansari melalui tarekat Syatariyah yang diajarkannya,
walaupun dengan ungkapan dan metafor yang berbeda.
2.
Politik
Sekitar
abad XIV, umat Islam di nusantara berhasil membentuk suara pemerintahan yang
bercorak Islam. Namun dalam hal-hal tertentu belum sepenuhnya bercorak Islam,
melainkan adanya perpaduan antara corak Indonesia sebagai pengaruh dari corak
pemerintahan agama lama dengan corak yang di bawa agama Islam. Perkembangan
selanjutnya, banyak bermunculan negara-negara Islam dalam bentuk kerajaan. Para
pemangku pemerintahannya berusaha memperbaiki keadaan negaranya sehingga corak
keislamannya lebih menonjol seperti di bentuknya lembaga qadhi (Dewan hakim),
Badan Permusyawaratan yang di dalamnya terdiri dari para ulama dan tokoh
masyarakat dan perundang-undangan terutama dalam masalah jual beli
(perdagangan).
Pada
saat kerajaan-kerajaan Islam telah tumbang dan munculnya pemerintahan rezim
dengan menamakan dirinya sebagai pemerintah Hindia Belanda, peranan umat Islam
dalam politik pemerintah tidaklah berhenti. Secara formal terdapat kaum
muslimin yang turut serta duduk dalam jajaran pegawai, secara informal umat
Islam memerankan politiknya melalui organisasi-organisasi yang dibentuknya. Di
antaranya:
a.
Serikat Dagang Islam
Serikat Dagang Islam didirikan di Jakarta pada tahun
1909 M oleh R.M. Tirtoadisurya yaitu sebagai sebuah perseroan dagang yang
didasarkan pada corak baru dan ide baru. Dua tahun berikutnya dibentuk pula
cabangnya di Bogor SDI itu bercorak koperasi dengan tujuan untuk merobohkan
monopoli saudagar-saudagar bangsa Tionghoa.
b.
Serikat Islam (SI)
Serikat Islam didirikan di Solo pada tanggal 11 november
1911 oleh seorang pedagang muslim, Haji Samanhudi. SI tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya yang
bernama Serikat Dagang Islam.
Perubahan nama dari SDI ke SI menjadikan organisasi ini mempunyai perubahan
orientasi: dari komersial ke politik. Organisasi ini muncul disebabkan oleh dua
hal. Pertama, daya dorong ekonomi di balik kegiatan-kegiatan organisasi
ini yang berasal dari persaingan perdagangan dengan orang-orang China yang
tidak terkekang oleh kontrol-kontrol yang terbatasi oleh pemerintah kolonial. Kedua,
aktifitas-aktifitas keagamaan dalam oganisasi ini, sebagian telah dipacu oleh
kegiatan-kegiatan misionaris Kristen yang semakin meningkat sejak 1910.
Tujuan dari organisasi ini adalah menyusun masyarakat Islam agar ia hidup
berkumpul menjadi saudagar. Selain itu juga mengerahkan hati umat Islam supaya
bersatu dan tolong menolong di dalam lingkaran dan batas undang-undang negara.
Melakukan segala daya upaya untuk mengangkat derajat rakyat guna kesentosaan
dan kemakmuran tanah tumpah darahnya. Dalam perkembangannya SI mengalami
beberapa periode:
1)
Periode menentukan corak
dan bentuk untuk mempersiapkan diri sebagai organisasi yang menyiapkan diri
untuk melakukan kegiatan sebagai partai yang berlangsung dari tahun 1911-1916
2)
Periode penentuan yaitu
periode pada saat seluruh organisasi telah siap memasuki periode puncak guna
ikut melibatkan diri dalam kegiatan politik. Periode ini berlangsung dari tahun
1916-1921
3)
Periode pada saat kegiatan
partai melakukan konsolidasi kedalam. Dalam periode ini partai tersebut
bersaing keras dengan golongan Komunis disamping juga mengalami tekanan-tekanan
yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda. Periode ini berlangsung dari tahun
1921-1927
4)
Periode saat kekuatan
partai memperlihatkan kegigihannya dalam mempertahankan eksistensinya dalam
forum politik Indonesia. Periode ini berlangsung dari tahun 1927-1942.
c.
Majelis Islam Ala Indonesia
(MIAI)
Komunikasi yang kurang baik di antara
organisasi Islam tidak jarang membawa pergesekan-pergesekan dan bahkan konflik
di antara umat Islam. Kesadaran yang medalam akan pentingnya memperbaiki
komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berdasarkan Islam, maka
K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H.A Wahab Chasbullah (NU) dan pimpinan
lainnya dari SI, al Irsyad, al-Islam, Perserikatan Ulama, dan lain-lain telah
berhasil membentuk suatu badan federatif yang disebut dengan Majelis Islam Ala
Indonesiy (Majelis Tinggi Islam Indonesia). Majelis yang lebih dikenal dengan
MIAI ini didirikan di Surabaya pada 21 September 1937.
MIAI tidak dapat membatasi diri
semata-mata pada masalah agama. Situasi politik Indonesia dan tuntutan-tuntutan
yang kian bertambah dari pergerakan kemerdekaan Indonesia pada umumya, terutama
untuk mendirikan parlemen Indonesia dan akhirnya kemerdekaan, menyebabkan
federasi ini mengeluarkan pendapat dan pernyataan yang bersifat politik.
Belum sampai lima tahun kehadiran
MIAI, pasukan Jepang mendarat di Indonesia dan dengan mudah dapat mengusir
Belanda. Berbeda dengan Belanda, Jepang berusaha merangkul umat Islam untuk
memobilisasi seluruh penduduk dalam rangka menyokong tujuan-tujuan perang
mereka yang cepat dan mendesak. Alasan Jepang merangkul umat Islam adalah
pertama, mereka mempunyai keyakinan agama yang kuat, sebagai moral perjuangan.
Kedua, berhubungan erat dengan yang pertama, kekuatan Islam yang besar
mendapatkan pijakan yang kuat karena dukungan rakyat yang luas di Indonesia.
Dalam kontek sosio-politik dan militer seperti inilah terlihat mengapa pihak
fasis Jepang membiarkan MIAI hidup buat sementara. Dalam waktu cepat, Jepang
memang benar-benar membutuhkan bantuan umat Islam. Karena MIAI didirikan atas
prakasa kaum Muslimin sendiri dan mempunyai kecenderungan anti-kolonialisme,
maka Jepang membubarkan MIAI pada oktober 1943.
3.
Seni dan Arsitektur
Dalam
seni arsitertur, terutama dalam bangunan sarana peribadatan seperti masjid,
Mushalla, bahkan rumah-rumah di Indonesia banyak yang berseni Islam seperti
terdapatnya tulisan Arab (kaligrafi Islam) yang terpajang pada
bangunan-bangunan, rumah-rumah penduduk dan sebagainya. Hasil seni bangunan
yang mempunyai nilai sejarah diantaranya adalah masjid kuno Demak, sendang
dawur agung kesepuhan di Cirebon, masjid agung Banten, Baiturrahman di Aceh dan
lain-lain.
B.
Peradaban Islam
Pasca Kemerdekaan
1.
Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama,
persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan desember 1945 menganjurkan agar
pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar
memberikan bantuan pada madrasah. Departemen agama dengan segera membentuk
seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam,
mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan agama. Pada
tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang
diantaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada tahun 1948, didirikanlah
sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan Kairo yang di zaman Belanda memimpin
Sekolah Normal Islam diPadang, menyusun rencana pembangunan pendidikan Islam.
Dalam rencananya, ibtidaiyah selama 6 tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan
tsanawiyah atas 4 tahun. Mahmud Yunus juga menyarankan agar pelajaran agama
diberikan di sekolah-sekolah umum yang disetujui oleh konferensi pendidikan
se-Sumatera di Padang Pajang, 2-10 Maret 1947.
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di Indonesia sejak
awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud Yunus membuka Islamic College
petama tanggal 9 Desember 1945 di Padang, yang terdiri dari Fakultas Syari’ah
dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.
Perguruan Tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas
keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun 1950. Pada
tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh
pemerintah dan pada tangal 26 September 1951 secara resmi dbuka perguruan
Tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah
pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi
Dinas Ilmu Agama ADIA). Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi
para pejabat yang berdinas dalam pemerintahan dan untuk pengajaran agama di
sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi Institut Agama Islam
Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian Agama.
IAIN bertanbah pesat dan melahirkan cabang-cabangnya di berbagai wilayah
ditambah dengan tumbuhnya perguruan tinggi swasta, diantaranya UNJ, UM, UNISBA,
UNISMA. Pendidikan Islam mengalami kemajuan dalam mengiringi modernitas.
Terakhir pada tahun 2002, IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah yang di dalamnya
menyelenggarakan pendidikan selain fakultas-fakultas Agama juga membuka ptogram
pasca sarjana.[14]
2.
Majelis Ulama Indonesia
(MUI)
Pertama kali Majelis Ulama Indonesia berdiri pada masa
Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah, karena diperlukan
untuk menjamin keamanan. Di samping untuk tujuan pembinaan mental, rohani dan
agama masyarakat, oleh pemerintah waktu itu Majelis ini dimaksudkan untuk ikut
ambil bagian dalam “penyelenggaraan revolusi dan pembangunan semesta berencana”
dalam rangka Demokrasi Terpimpin”. Akan tetapi setelah Seokarno jatuh, baru
kegiatan-kegiatan Majelis ulama daerah meningkat. Meskipun majelis ini secara
nasional tidak mempunyai kendali dan cara kerja yang sama antara satu daerah
dengan daerah lain, karena majelis pusat praktis tidak berfungsi lagi.
Pada masa Soeharto, Ia mengharapkan berdirinya Majelis
Ulama Indonesia. Dalam tahun 1975 usaha-usaha dimulai untuk mendirikan majelis
ulama yang baru. Majelis-majelis ulama di tiap ibukota profinsi dibentuk, atau
bagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka pembentukan majelis ulama yang
baru. Sementara itu, di Jakarta dibentuk panitia Musyawarah Nasional 1 Majelis
Ulama seluruh Indonesia. Musyawarfah itu sendiri dilangsungkan pada tanggal
21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama propinsi. Ketika
itulah Majelis ulama yang baru dinyatakan berdiri dengan nama Majelis Ulama
Indonesia.
3.
Hukum Islam
Usaha untuk mengundangkan
peraturan perkawinan secara Nasional
sudah dimulai sejak tahun 1950 dengan terbentuknya suatu panitia khusus yang
diketuai oleh bekas Gubernur Sumatera, Teuku Muhammad Hasan. Baru pada tahun
1958, hasil kerja panitia ini dibicarakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat,
bersama-sama dengan suatu usul Rancangan Undang-undang yang dimajukan oleh
kalangan nasionalis. Akan tetapi kedua rancangan ini dikesampingkan karena
terjadi kemacetan dalam perdebatan di parlemen. Rancangan Undang-undang yang
sama kemudian disusun kembali tahum 1967 dan 1968. Kedua rancangan ini
dibicarakan dalam sidang DPR tahun 1973, tetapi mengalami hal yang sama karena
wakil dari golongan Katholik menolak rancangan itu. Akibatnya pemerintah
menarik kembali kedua rancangan tersebut dan mengusulkan RUU yang baru pada
tanggal 31 Juli 1973. Ketika rancangan ini disidangkan, pihak Islam merasa
keberatan dan beberapa ratus pelajar Islam melakukan protes di ruang DPR karena
banyak butir-butir RUU yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Diluar
sidang DPR masalah protes itu dapat diselesaikan dengan mengubah RUU tersebut,
sehingga seluruhnya sesuai dengan tuntutan kalangan Islam. Yang akhir inilah
yang diundangkan pada bulan Januari 1974. Kemantapan posisi hukum Islam dalam
sistem hukum Nasional semakin meningkat setelah Undang-undang Peradilan Agama
diterapkan tahun 1989.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nor, Islam
Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media Group, 2007
Karim, Abdul,
Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar Marjinalisasi Peranan Islam
dalam Perjuangan Kemerdekaan RI), Yogyakarta: Sumbangsih Press, 2005
Noer, Deliar,
Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1945, Jakarta: PT Pustaka LP3ES
Indonesia, 1996
Sunanto, Musyrifah,
Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT ajaGrafindo Persada, 2005
Syam, Firdaus, Membangun
Peradaban Indonesia, Jakarta: Gema Insani, 2009
Syukur, Fatah,
Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003
thanks infonya..
ReplyDeleteTHANKS FOR THIS PAPER
ReplyDelete