BAB
I
PENDAHULUAN
Lingkungan adalah segala sesuatu
yang ada disekitar tempat hidup atau tempat kita tinggal. Kesadaran tentang
perlunya tindakan global untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan telah
menjadi agenda bersama semua bangsa. Krisis-krisis lingkungan telah menyatukan
bangsa-bangsa untuk menghadapinya dengan sejumlah kebijakan bersama. Kerusakan
lingkungan sebagian besar disebabkan oleh cara pandang yang terlalu
antroposentrik (semena-mena) dan humanistik. Kondisi lingkungan global yang
kian memburuk dan kritis, tidak cukup hanya diatasi dengan seperangkat
peraturan hukum dan undang-undang sekuler, tetapi juga kesadaran otentik dari
relung-relung batin dan spiritual setiap individu yang wujudnya adalah nilai-nilai moral dan agama. Agama-agama
besar dunia dianggap sebagai pilar penting untuk membantu menopang kesadaran
konservasi lingkungan melalui eksplorasi ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran agama
dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk
mengimplementasikan tugas-tugas konservasi lingkungan yang mengalami degradasi
akibat agresi manusia modern secara terus menerus melalui watak penaklukkannya.
Tragedi gempa dan tsunami di Aceh
dan Nias pada 26 Desember 2004 dan menimbulkan korban tewas lebih dari 200 ribu
jiwa, membuat Mudhofir Abdullah mulai tertarik pada masalah lingkungan. Apalagi
dalam rentang 2004-2009 di Indonesia terjadi bencana-bencana besar dengan
korban massal. Gempa Yogyakarta, banjir dan tanah longsor, gunung meletus,
puting beliung, dan lain-lain mendorong beliau untuk mencari tahu sebab-sebab
dan akibat-akibatnya. Fakta-fakta bencana yang disebabkan antara lain karena
pemanasan global dan pemanasan global disebabkan-yang utama-karena aktifitas
industrial berabad-abad manusia kemudian memperkuat tekad beliau untuk
mendalami dan menuliskannya ke dalam karya Disertasi.
Buku yang berjudul Al Qur’an dan
konservasi lingkungan merupakan pengembangan Disertasi Mudhofir Abdullah,
berusaha merespon tantangan-tantangan krisis lingkungan dari perspektif Islam.
Beliau ingin menegaskan bahwa dari sisi ajaran, Islam telah meletakkan
dasar-dasar konservasi lingkungan. Al Qur’an, Hadits dan tradisi pemikiran
Islam telah mengungkap seejumlah kearifan terhadap kesejahteraan lingkungan
meskipun disajikan secara tidak spesifik.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Relasi Iman dan Lingkungan: Berawal dari Tauhid
Membicarakan
lingkungan dalam perspektif falsafat Islam dimulai dari konsep kosmologi. Para
filosof Islam, semisal Al-Kindi (801–873 M) telah mengemukakan bahwa alam
merupakan emanasi dari Tuhan. Al-Farabi (870–950 M) lebih merinci konsep
emanasi tersebut melalui konsep akal sepuluh. Meski konsep ini agak susah
dipahami dalam konteks ilmu tauhid tradisional, dalam konteks ekologi karena
dari pancaran Tuhan, maka semesta alam memiliki posisi yang sangat tinggi.
Merusak alam sama dengan melakukan penyimpangan tauhidiyyah. Nurcholish Majdid,
menghubungkan Tauhid dengan kata tiran (taghut). Berdasar pada Q.S. An-Nahl/16:36:
ôs)s9ur $uZ÷Wyèt/ Îû Èe@à2 7p¨Bé& »wqߧ Âcr& (#rßç6ôã$# ©!$# (#qç7Ï^tGô_$#ur |Nqäó»©Ü9$# ,...
Dan
sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut..., (Q.S. An-Nahl/16:36).
Ayat ini mengandung pemahaman bahwa inti risalah (tugas kerasulan)
ialah menyampaikan seruan untuk beriman kepada Allah semata (Tauhid,
Monoteisme) dengan sikap pasrah sepenuhnya kepada Allah dan menjauhi atau
menentang sistem-sistem tiranik. Dalam kitab suci sistem-sistem tiranik
dilambangkan dalam sistem ke-Fir’aunan. Fir’aun sendiri menjadi lambang seorang
tiran atau despotik. Sifat despotisme di atas, setidaknya memberi landasan
tentang hubungan konsepsi tauhid dan lingkungan, yakni memandang alam semesta
sebagai sebuah keutuhan, keindahan, keteraturan dan kedamaian yang didudukkan
sebagai lawan dari tiranik atau taghut.
Bersikap tauhid
kepada lingkungan bisa juga mengandung pemahaman bahwa manusia harus memelihara
lingkungan sebagaimana manusia harus bersikap pasrah kepada Tuhan. Dalam arti
lain, Tauhid sebagai pilar penopang tindakan manusia, menjadi dasar semua
pandangan tentang kebaikan, keteraturan, keterbukaan, dan kepasrahan manusia
kepada Tuhan, yaitu mematuhi sunnatullah. Konsep tauhid yang pada awalnya
berarti mengesakan Allah, pada tahap selanjutnya dapat juga digunakan sebagai
konsep manusia baik dalam sosial, budaya, termasuk dalam memperlakukan
lingkungan sekitarnya.
Sebelum
membahas tentang prinsip-prinsip yang harus dipegang manusia dalam
memperlakukan lingkungan, termasuk alam, terlebih dahulu dikemukakan prinsip
etis bagaimana memperlakukan lingkungan, sehingga menjadi landasan untuk
membahas bangunan konsep konservasi lingkungan. Dalam filsafat Barat maupun
Islam, konsep-konsep tentang konservasi lingkungan telah lama menjadi doktrin
pokok baik tentang ajaran maupun falsafah kehidupan. Dalam khazanah filsafat
Barat misalnya, sekurang-kurangnya terdapat tiga teori etika lingkungan yang
pernah dikenal. Pertama, Shallow Enviromental Ethics atau dikenal dengan
antrophosentrisme; Menurut pandangan teori ini, manusia dan berbagai
kepentingan dalam hidupnya, memiliki hubungan yang erat bagaimana manusia
memperlakukan lingkungan sebagai ekosistem, termasuk tindakan-tindakan apa yang
dilakukan kepada lingkungan sekitarnya. Pandangan antrophosentrisme ini
memiliki pandangan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia,
etika hanya untuk manusia. Kedua, Intermediate Enviromental Ethics atau
biosentrisme; menilai bahwa etika dan moralitas tidak hanya diwajibkan pada
manusia melainkan setiap komunitas biotis. Setiap kehidupan di bumi, menurut
teori ini, dipandang bernilai pada dirinya, sehingga mempunyai nilai moral yang
sama, lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan manusia. Ketiga, Deep
Enviromental Ethics atau ekosentrisme; memperluas etika dari komunitas
biosentrisme kepada komunitas ekologi seluruhnya. Tiga teori lingkungan di atas
mendapat respon dari intelektual Muslim dengan mengembangkan tiga teori tersebut
ke dalam perspektif teologis.
Salah satu
pemikir Muslim yang memberikan perhatian serius dalam masalah etika lingkungan,
diantaranya Sayyed Hosein Nashr[1].
Melalui teori Scientia Sacra-nya, Nashr berpendapat bahwa lingkungan merupakan
sebuah buku yang berisi nilai-nilai mendasar bagi kehidupan manusia, sementara
manusia itu sendiri adalah sebuah komunitas yang memiliki peran dalam
kehidupan. Dengan kata lain, manusia merupakan subyek utama dalam membawa
nilai-nilai dan prinsip moral bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.
Nilai-nilai dan prinsip moral tersebut, bagi Nashr, merupakan pengetahuan suci
(scientia sacra), yang sumbernya dari konsep teologi Islam, yang dimiliki
manusia dalam memperlakukan lingkungan hidup. Melalui teori scientia sacra,
Nashr menegaskan bahwa menjaga lingkungan memiliki arti spiritual yang tinggi,
sama tingginya ketika manusia berhubungan dengan Tuhannya.
Tokoh intelektual
Islam Ziauddin Sardar menyajikan argumen-argumen penting tentang hubungan erat
antara tauhid dengan perlindungan lingkungan. Tauhid menjadi titik pusat yang
otentik bagi doktrin teologis tentang lingkungan. Lingkungan diletakkan secara
organik dengan Tuhan karena lingkungan (alam semesta) merupakan manifestasi
dari Tuhan. Meski tidak serupa, sakralitas Tuhan mengalir dan membungkus
sakralitas lingkungan. Siapa yang merusak lingkungan dan mengabaikannya, maka
ia bisa disebut anti-tauhid. Sikap anti-tauhid adalah sikap tidak mengimani
lingkungan dan alam semesta sebagai ciptaan Allah yang bisa semena-mena
dieksploitasi dan dibiarkan rusak. Karena itu, sikap ini bisa disetarakan
dengan kufr terhadap Allah. Yakni sikap ingkar dan tertutup untuk menghormati
alam semesta sebagai karunia Allah yang harus dihormati, dimanfaatkan, dan
dikelola dengan penuh tanggung jawab.
2.
Relasi Iman dan Lingkungan: Berfikir Secara Teleologis
Teleologi
adalah studi filsafat tentang rancangan (penciptaan) dan tujuan. Paham ini
menyatakan bahwa segala sesuatu itu dirancang atau diarahkan kepada hasil final
bahwa ada tujuan inheren atau sebab terakhir bagi semua ciptaan yang ada.
Kosmos (alam) ini tercipa dengan suatu tujuan. Teleologi dalam konteks
lingkungan dapat menjadi dasar teologis bagi tindakan-tindakan manusia terkait dengan lingkungannya. Karena kosmos
itu teleologis, maka manusia memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk
memanfaatkan dan mengelolanya dengan penuh tanggung jawab.
Makna teleologi
sangat erat kaitannya dengan teologi, karena dalam teleologi ada pengakuan
terhadap Sang Perancang atau al khaliq. Pengakuan terhadap Sang Perancang
memiliki implikasi-implikasi penting di dalam menempatkan manusia dengan
lingkungannya. Manusia didorong untuk bersikap harmoni dan ramah terhadap
lingkungan. Kosmos mencerminkan adanya Allah yang dengan penuh maksud dan
tujuan menciptakan alam. Alam tidak diciptakan secara sia-sia.
Karena sikapnya
yang teleologis, kelestarian alam dapat rusak jika tidak dirawat atau
diperlakukan semena-mena. Alam tidak akan memberikan kemanfaatan dan kebaikan
jika hak-haknya dirampas oleh manusia. Hubungan manusia dan alam secara optik
teleologis, adalah hubungan etis-strategis yang bila salah satunya rusak akan
rusak pula hubungan itu. Krisis lingkungan dalam perspektif teleologis ini
adalah cermin dari adanya krisis moral dan spiritual itu. teleologi, sebagaimana
teologi, menyediakan seperangkat nilai kepada manusia untuk menempatkan moral
dalam relasinya dengan alam atau kosmos. Nilai-nilai ini dalam wujud nyatanya
adalah pemihakan dan gerakan pada kepentingan keberlanjutan lingkungan.
3.
Allah, Alam, dan Manusia: Relasi Sang Pencipta dan Ciptaan-Nya
Konsep mendasar
bagi ekoteologi adalah dengan melihat relasi di antara Allah sebagai pencipta
dan ciptaan-Nya yaitu alam yang disebut dengan makrokosmos dan manusia sebagai
mikrokosmos. Allah sebagai al-khaliq (Pencipta), mencerminkan suatu konsep
mendasar bagi ekoteologi-tauhid. Konsep ini menegaskan bahwa ada Pencipta
Tertinggi yang menjadi sebab bagi eksistensi semua kehidupan atau ciptaan.
Allah adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain.
Pencipta kosmos
(al-khaliq) yang di dalam al Qur’an bernama Allah disebut lebih dari 2500 kali
(belum menghitung nama-nama lain seperti ilah, rabb, rahman, dan
lain-lainnya). Mana Allah menurut al Qur’an bersifat fungsional, artinya Dia
adalah Pencipta serta Pemelihara alam semesta dan manusia. Karena fungsional,
Allah bersifat aktif. Dia terus hidup dan memberikan petunjuk kepada manusia
baik melalui wahyu tertulis (qauliyyah/al Qur’an) maupun wahyu tak
tertulis (fi’liyyah/kauniyyah/alam semesta). Konsep ini menyajikan
prinsip-prinsip kosmologis yang penting bagi manusia di dalam memperlakukan
lingkungan.
Allah sebagai
al khaliq yang menghasilkan kosmos dengan seluruh hukum-hukumnya menandai
keaktifanNya di dalam alam. Hubungan ini juga menandai bahwa kosmos bukanlah
bayangan Tuhan atau khayalan yang bersifat tidak nyata atau palsu. Alam semesta
adalah nyata, memberikan keindahan, kemanfaatan, dan menggambarkan kebesaran
Tuhan. Bahkan dalam kenyataan alam, dunia mikrokosmos (manusia) diberi
kewajiban untuk memelihara, memakmurkan, dan memanfaatkannya dengan penuh
tanggung jawab. Tanggung jawab inilah yang oleh al Qur’an disebut sebagai khalifatullah
fi al-ardh.
Dalam al Qur’an
Allah juga disebut al Fathir, kata ini bermakna atau sepadan dengan kata
al-khaliq (Pencipta). Para penerjemah biasanya menafsirkannya dengan “pemula”
atau “pencipta”, tetapi makna dasar dari akar kata itu adalah membelah,
memecah, atau mengoyak. Ungkapan ini mengingatkan pada pemisahan langit dan
bumi agar lahir sebuah kosmos. Jadi hanya kekuatan Tuhanlah yang dapat membuat
langit dan bumi tetap terpisah. Proses pemisahan langit dan bumi dibenarkan dan
diakui oleh sains. Proses ini tentu saja dapat mendukung pendapat bahwa Allah
terhadap kosmos bersifat fungsional.
Dengan
demikian, pandangan bahwa Allah adalah al-khaliq mendorong sikap hormat
al-makhluq pada Sang Pencipta adalah hormat pula pada kosmos atau alam.
Sebaliknya mengingkari Allah sebagai al-khaliq akan meniadakan nilai
sakral bukan saja kepada Allah, tetapi juga kepada semua makhluk. Lebih lanjut,
berpijak pada keismpulan ini, degradasi lingkungan harus dipandang sebagai
akibat dari ateisme lingkungan.
Selanjutnya, makhluq
atau khalq diterjemahkan sebagai ciptaan. Penciptanya disebut al-khaliq,
yakni Allah. Penciptaan ini penting karena al Qur’an menginformasikan bahwa
orang-orang penyembah berhala menghubungkan kekuatan penciptaan ini dengan
berhala-berhala. Mereka mengingkari Allah sebagai pencipta dan menegaskan bahwa
pencipta itu tidak lain adalah berhala-berhala yang mereka sembah dan puja. Al
Qur’an dengan tegas menolak kepercayaan para penyembah berhala tentang Pencipta
selain Allah. Al Qur’an juga menunjukkan bahwa kepercayaan sejarah manusia
tentang penciptaan alam semesta beragam. Selain berhala-berhala, juga ada
kepercayaan para ateis yang mempercayai alam terjadi dengan sendirinya,
diantaranya adalah apa yang oleh al Qur’an disebut al-dahr. Kata al-dahr
memiliki kesepadanan atau sinonim dengan zaman, ‘ashr, ayyam dan ‘aud.
Al dahr melambangkan kesuraman dan kematian.
Informasi-inforkasi
al Qur’an tersebut memperkuat fakta-fakta sejarah tentang adanya teologi
penciptaan yang bukan saja lahir dari perspektif Islam, tetapi juga dari
intelektual-intelektual Yudeo-Kristen. Jika demikian, terdapat beragam versi
tentang nama yang dianggap pencipta makhluq, sampai akhirnya para teolog
menyebut Allah atau Yahweh (Yahudi).
Tidak hanya
tentang Pencipta, teori penciptaan juga beragam. Namun dari yang banyak itu
mengerucut pada teori Big Bang (ledakan besar). Teori ini menyatakan bahwa alam
semesta pada mulanya adalah sangat padat dan sangat panas. Pada peristiwa awal,
ia mengalami ledakan kosmis (cosmic explosion) yang kemudian disebut big
bang terjadi pada sekitar 10 hingga 20 miliar tahun lalu. Dan sejak itu, alam
semesta mulai mengembang dan mendingin. Teori ini secara burturut-turut
disempurnakan oleh para ilmuan seperti alexander Friedmen, Edwin Hubble, dan
Fred Hoyle. Namun demikian, perspektif sains yang nampak sekuler dan tidak
teologis justru menimbulkan kekaguman-kekaguman besar di kalangan para ilmuan
itu, disamping tentu saja mendorong sikap ateisme. Relasi Tuhan dan alam
semesta juga dapat dibentuk dari pandangan-pandangan tersebut. Bahkan ia bisa
membentuk teologi lingkungan. Baik perspektif teologis maupun sains, keduanya
sama-sama menyumbangkan kelestarian ataupun kehancuran alam bergantung pada
struktur filosofis yang menyusun bangunan relasi diantara keduanya.
4.
Konsepsi Khalifatullah fi al-ardh: Reinterpretasi Posisi dan
Kuasa Manusia
Konsep Khalifatullah
fi al-ardh dalam tradisi pemikiran Islam sangat penting. Ia tidak saja
terkait dengan masalah-masalah teologis dan politik, tetapi juga terkait dengan
masalah-masalah lingkungan. Jagat raya dan kekayaan alam seperti hutan, sungai,
tanah, batubatuan, gunung, bukit, dan tumbuh-tumbuhan adalah tanda kebesaran
Allah (ayat kauniyah) yang harus dipelihara dan dikembangkan manusia. Dalam hal
ini, peran manusia dalam menjaga lingkungan dan melestarikan lingkungan merupakan
tugas penting yang tidak dapat dipandang sebelah mata, mengingat posisi manusia
adalah sebagai khalifah fi al-ardh. Lebih tegasnya, al-Qur’an menyebutkan
bahwa manusia adalah mandataris Allah di muka bumi, yaitu QS. Al-Baqarah: 30:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."( QS. Al-Baqarah: 30).
Ayat tersebut, kata khalifah yang terdiri dri huruf kha’, lam, dan
fa’ (khalafa-yakhlufu) menunjukkan tiga arti, yaitu “mengganti”, “belakang”,
dan “pergantian atau suksesi”. Kata ini berkembang menjadi “wakil” atau
“pemimpin”. Bila kata khalifah dihubungkan dengan Allah dan membentuk
khalifatullah maka menunjukkan arti wakil Allah. Manusia sebagai khalifatullah
fi al-ardh mengandung makna bahwa manusia itu adalah wakil Allah di muka bumi
yang selayaknya menjaga lingkungan dan melestarikannya. Hal ini memiliki arti bahwa
manusia menghayati ciptaan Allah di muka bumi. Hal ini pula mengindikasikan bahwa
melaksanakan fungsi khalifah melalui pelestarian lingkungan termasuk sikap
mengakui keberadaan Allah. Memahami kedudukan manusia dengan mengakui
keberadaan Allah dalam segenap ciptaannya dapat membantu memperkuat konsep khalifatullah
fi al-ardh (wakil Tuhan di muka bumi), yang ditujukan kepada manusia. Manusia
adalah makhluk Tuhan yang secara khusus diberi amanah untuk menjadi khalifah,
sehingga menjaga nilai-nilai dan prinsip moral untuk melestarikan lingkungan,
tidak saja tuntutan melainkan juga mengandung nilai tanggung jawab yang
nantinya akan dimintai pertanggung jawaban kelak. Dalam hal ini, konsep khalifatullah
fi al-ardh memiliki pandangan berbeda dengan konsep kepemimpinan (leadership
and power) dalam pandangan umum yang selama ini dikenal dalam teori
demokrasi.
Konsep khalifatullah fi al-ardh sebagai pemimpin sangat dekat
dengan konsep amanah. Kata amanah adalah sebuah konsep penting dalam suatu
kepemimpinan karena di dalamnya mengandung tugas membangun peradaban di muka
bumi berikut upaya-upaya memakmurkannya. Bumi dan berbagai sumber dayanya
adalah amanah yang dipercayakan Allah kepada manusia sebagai khalifatullah fi
al-ardh. Merusak lingkungan dan mengeksploitasinya tanpa rasa tanggung jawab
adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanah dan ini menandai sebuah kelalaian
terhadap sebuah kepemimpinan dalam kerangka khalifatullah fi al-ardh. Hal ini
senada dengan pendapat Yusuf Qaradhawy yang menggabungkan khalifatullah fi
al-ardh dengan ibadah, yaitu usaha menanam, membangun, memperbaiki, menghidupi,
serta menghindarkan dari hal-hal yang merusak. Jadi, pemaknaan khalifatullah fi
al-ardh dalam kerangka ekologis bersifat lebih universal, membumi, dan
merangkul semua keluarga besar biotik dunia yang diikat oleh nilai-nilai etika
yang muncul dari tradisi-tradisi agama maupun kearifan peradaban manusia.
Kepemimpinan
yang bermakna kekuasaan sepenuhnya hanya melekat pada manusia melalui tiga
konsepsi dasar, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat dan terlepas dari kaitan
nilai-nilai ilahiah. Tidak seperti konsep umum tentang kepemimpinan yang
memasukkan unsur free will (kehendak bebas) yang menempatkan manusia
sebagai penguasa atau raja, konsep khalifah tidak mengenal power dan free
will dalam konsep kepemimpinan, sebab manusia tidak seperti pandangan kaum
antroposentris yang memandang manusia sebagai pusat aktifitas, tetapi manusia
juga bersifat antroposofis yang berpandangan bahwa di dalam diri manusia
terdapat nilai-nilai ketuhanan yang lebih tinggi dari dirinya, dan
antropokosmis, yakni manusia bagian entitas dari alam.
Konsepsi khalifatullah
fi al-ardh di atas, memperluas pandangan umum tentang kepemimpinan. Manusia
sebagai khalifah memiliki dua nilai yang saling berkaitan dalam konsepsi
kepemimpinan. Pertama, sebagai wakil Allah yang berperan menegakkan ketauhidan,
keadilan, keselamatan manusia dan lingkungan dan kebahagiaan dunia-akhirat.
Kedua, sebagai makhluk yang memiliki kewajiban taat beribadah kepada Allah.
Disinilah konsepsi khalifatullah fi al-ardh dan menjaga lingkungan
menemukan titik temu yang saling melengkapi dan berkaitan erat dalam kehidupan
manusia.
BAB III
KESIMPULAN
Mudhofir
Abdullah dalam disertasinya, menyorot tentang persoalan konservasi lingkungan
dimana manusia sebagai khalifah fi al-ardh memiliki tugas untuk menjaga
lingkungan sekitar. Dalam pembahasan malakahnya, pemakalah lebih menyorot
kepada pemikiran Mudhofir Abdullah dari perspektif teologi lingkungannya.
Bersikap tauhid kepada lingkungan bisa juga mengandung pemahaman bahwa manusia
harus memelihara lingkungan sebagaimana manusia harus bersikap pasrah kepada
Tuhan. Dalam arti lain, Tauhid sebagai pilar penopang tindakan manusia, menjadi
dasar semua pandangan tentang kebaikan, keteraturan, keterbukaan, dan
kepasrahan manusia kepada Tuhan, yaitu mematuhi sunnatullah. Konsep
tauhid yang pada awalnya berarti mengesakan Allah, pada tahap selanjutnya dapat
juga digunakan sebagai konsep manusia baik dalam sosial, budaya, termasuk dalam
memperlakukan lingkungan sekitarnya.
Konsep al
Qur’an tentang penciptaan dan relasi Tuhan, manusia, dan alam semesta bisa
menyumbangkan dua tindakan: poritif dan negatif. Sumbangan positif diperoleh
bergantung pada pemaknaan kreatif pesan-pesan al Qur’an tentang lingkungan.
Potensi-potensi teologis al Qur’an sangat memadai untuk kebajikan lingkungan.
Misalnya, ajaran dasar tentang konsep teleologis bahwa alam itu diciptakan
dengan suatu tujuan dan untuk memberi tanda kekuasaan Allah. Implikasi positif
dari pendangan ini adalah keharusan manusia untuk memanfaatkan alam dengan
penuh tanggung jawab sebagai bentuk penghormatan kepada Allah atau yang dalam
al Qur’an disebut syukr. Alam semesta, dalam konteks ini bukanlah sebuah
ciptaan sia-sia, palsu, atau kebetulan saja tetapi sebuah ciptaan yang penuh
maksud dan dalam batas-batas tertentu memiliki keindahan serta kekaguman yang
menunjuk pada pencipta-Nya, yakni Allah. Implikasi positif lainnya, pandangan
semacam itu menghadirkan sikap spiritual yang memandang alam sebagai
keseluruhan dari Esensi yang Satu, yakni Allah. Sikap ini dapat membentuk sikap
“devotional” yakni sikap memuji Allah dan ciptaan-Nya karena
kemurahan-kemurahan yang diberikan Allah kepada manusia.
Adapun pengaruh
negatif-destruktifnya adalah pada pemaknaan yang tidak kritis terhadap perintah
penundukan manusia terhadap alam dan konsep penguasaan manusia atas alam dalam
konsep khalifatullah fi al-ardh. Jika ayat-ayat ini tidak diklarifikasi
ke dalam sajian-sajian ekologis, maka akan berimplikasi pada sikap-sikap antroposentris,
yakni manusia sebagai penguasa alam yang cenderung pada sikap semena-mena atau
eksploitatif terhadap alam. Implikasi lainnya adalah menganggap alam hanya
semata-mata sebagai objek bukan subjek dan mmendorong pada ciptaan non-manusia
(yakni alam semesta dan lingkungannya) dihargai bukan pada nilai intrinsiknya
melainkan hanya atas dasar nilai intrumentalnya bagi manusia. Makhluk
non-manusia dilihat hanya dari optik kepentingan manusia saja tanpa
mempertimbangkan keharusan-keharusan moral manusia terhadap perlindungan alam.
Manusia dan
lingkungan adalah dua sisi pada mata uang yang sama. Makin kuat dan etis
manusia, maka akan makin kuat dan etis lingkungan. Sebaliknya, makin kritis dan
rusak manusia, maka menandai makin kritis dan rusak moral manusia.
No comments:
Post a Comment