Tuesday, September 20, 2016

Konservasi Lingkungan

BAB I
PENDAHULUAN

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar tempat hidup atau tempat kita tinggal. Kesadaran tentang perlunya tindakan global untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan telah menjadi agenda bersama semua bangsa. Krisis-krisis lingkungan telah menyatukan bangsa-bangsa untuk menghadapinya dengan sejumlah kebijakan bersama. Kerusakan lingkungan sebagian besar disebabkan oleh cara pandang yang terlalu antroposentrik (semena-mena) dan humanistik. Kondisi lingkungan global yang kian memburuk dan kritis, tidak cukup hanya diatasi dengan seperangkat peraturan hukum dan undang-undang sekuler, tetapi juga kesadaran otentik dari relung-relung batin dan spiritual setiap individu yang wujudnya adalah  nilai-nilai moral dan agama. Agama-agama besar dunia dianggap sebagai pilar penting untuk membantu menopang kesadaran konservasi lingkungan melalui eksplorasi ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas konservasi lingkungan yang mengalami degradasi akibat agresi manusia modern secara terus menerus melalui watak penaklukkannya.
Tragedi gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004 dan menimbulkan korban tewas lebih dari 200 ribu jiwa, membuat Mudhofir Abdullah mulai tertarik pada masalah lingkungan. Apalagi dalam rentang 2004-2009 di Indonesia terjadi bencana-bencana besar dengan korban massal. Gempa Yogyakarta, banjir dan tanah longsor, gunung meletus, puting beliung, dan lain-lain mendorong beliau untuk mencari tahu sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Fakta-fakta bencana yang disebabkan antara lain karena pemanasan global dan pemanasan global disebabkan-yang utama-karena aktifitas industrial berabad-abad manusia kemudian memperkuat tekad beliau untuk mendalami dan menuliskannya ke dalam karya Disertasi.
Buku yang berjudul Al Qur’an dan konservasi lingkungan merupakan pengembangan Disertasi Mudhofir Abdullah, berusaha merespon tantangan-tantangan krisis lingkungan dari perspektif Islam. Beliau ingin menegaskan bahwa dari sisi ajaran, Islam telah meletakkan dasar-dasar konservasi lingkungan. Al Qur’an, Hadits dan tradisi pemikiran Islam telah mengungkap seejumlah kearifan terhadap kesejahteraan lingkungan meskipun disajikan secara tidak spesifik.
BAB II
PEMBAHASAN

1.        Relasi Iman dan Lingkungan: Berawal dari Tauhid
Membicarakan lingkungan dalam perspektif falsafat Islam dimulai dari konsep kosmologi. Para filosof Islam, semisal Al-Kindi (801–873 M) telah mengemukakan bahwa alam merupakan emanasi dari Tuhan. Al-Farabi (870–950 M) lebih merinci konsep emanasi tersebut melalui konsep akal sepuluh. Meski konsep ini agak susah dipahami dalam konteks ilmu tauhid tradisional, dalam konteks ekologi karena dari pancaran Tuhan, maka semesta alam memiliki posisi yang sangat tinggi. Merusak alam sama dengan melakukan penyimpangan tauhidiyyah. Nurcholish Majdid, menghubungkan Tauhid dengan kata tiran (taghut). Berdasar pada Q.S. An-Nahl/16:36:
ôs)s9ur $uZ÷Wyèt/ Îû Èe@à2 7p¨Bé& »wqߧ Âcr& (#rßç6ôã$# ©!$# (#qç7Ï^tGô_$#ur |Nqäó»©Ü9$# ,...
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut..., (Q.S. An-Nahl/16:36).
Ayat ini mengandung pemahaman bahwa inti risalah (tugas kerasulan) ialah menyampaikan seruan untuk beriman kepada Allah semata (Tauhid, Monoteisme) dengan sikap pasrah sepenuhnya kepada Allah dan menjauhi atau menentang sistem-sistem tiranik. Dalam kitab suci sistem-sistem tiranik dilambangkan dalam sistem ke-Fir’aunan. Fir’aun sendiri menjadi lambang seorang tiran atau despotik. Sifat despotisme di atas, setidaknya memberi landasan tentang hubungan konsepsi tauhid dan lingkungan, yakni memandang alam semesta sebagai sebuah keutuhan, keindahan, keteraturan dan kedamaian yang didudukkan sebagai lawan dari tiranik atau taghut.
Bersikap tauhid kepada lingkungan bisa juga mengandung pemahaman bahwa manusia harus memelihara lingkungan sebagaimana manusia harus bersikap pasrah kepada Tuhan. Dalam arti lain, Tauhid sebagai pilar penopang tindakan manusia, menjadi dasar semua pandangan tentang kebaikan, keteraturan, keterbukaan, dan kepasrahan manusia kepada Tuhan, yaitu mematuhi sunnatullah. Konsep tauhid yang pada awalnya berarti mengesakan Allah, pada tahap selanjutnya dapat juga digunakan sebagai konsep manusia baik dalam sosial, budaya, termasuk dalam memperlakukan lingkungan sekitarnya.
Sebelum membahas tentang prinsip-prinsip yang harus dipegang manusia dalam memperlakukan lingkungan, termasuk alam, terlebih dahulu dikemukakan prinsip etis bagaimana memperlakukan lingkungan, sehingga menjadi landasan untuk membahas bangunan konsep konservasi lingkungan. Dalam filsafat Barat maupun Islam, konsep-konsep tentang konservasi lingkungan telah lama menjadi doktrin pokok baik tentang ajaran maupun falsafah kehidupan. Dalam khazanah filsafat Barat misalnya, sekurang-kurangnya terdapat tiga teori etika lingkungan yang pernah dikenal. Pertama, Shallow Enviromental Ethics atau dikenal dengan antrophosentrisme; Menurut pandangan teori ini, manusia dan berbagai kepentingan dalam hidupnya, memiliki hubungan yang erat bagaimana manusia memperlakukan lingkungan sebagai ekosistem, termasuk tindakan-tindakan apa yang dilakukan kepada lingkungan sekitarnya. Pandangan antrophosentrisme ini memiliki pandangan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, etika hanya untuk manusia. Kedua, Intermediate Enviromental Ethics atau biosentrisme; menilai bahwa etika dan moralitas tidak hanya diwajibkan pada manusia melainkan setiap komunitas biotis. Setiap kehidupan di bumi, menurut teori ini, dipandang bernilai pada dirinya, sehingga mempunyai nilai moral yang sama, lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan manusia. Ketiga, Deep Enviromental Ethics atau ekosentrisme; memperluas etika dari komunitas biosentrisme kepada komunitas ekologi seluruhnya. Tiga teori lingkungan di atas mendapat respon dari intelektual Muslim dengan mengembangkan tiga teori tersebut ke dalam perspektif teologis.
Salah satu pemikir Muslim yang memberikan perhatian serius dalam masalah etika lingkungan, diantaranya Sayyed Hosein Nashr[1]. Melalui teori Scientia Sacra-nya, Nashr berpendapat bahwa lingkungan merupakan sebuah buku yang berisi nilai-nilai mendasar bagi kehidupan manusia, sementara manusia itu sendiri adalah sebuah komunitas yang memiliki peran dalam kehidupan. Dengan kata lain, manusia merupakan subyek utama dalam membawa nilai-nilai dan prinsip moral bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Nilai-nilai dan prinsip moral tersebut, bagi Nashr, merupakan pengetahuan suci (scientia sacra), yang sumbernya dari konsep teologi Islam, yang dimiliki manusia dalam memperlakukan lingkungan hidup. Melalui teori scientia sacra, Nashr menegaskan bahwa menjaga lingkungan memiliki arti spiritual yang tinggi, sama tingginya ketika manusia berhubungan dengan  Tuhannya.
Tokoh intelektual Islam Ziauddin Sardar menyajikan argumen-argumen penting tentang hubungan erat antara tauhid dengan perlindungan lingkungan. Tauhid menjadi titik pusat yang otentik bagi doktrin teologis tentang lingkungan. Lingkungan diletakkan secara organik dengan Tuhan karena lingkungan (alam semesta) merupakan manifestasi dari Tuhan. Meski tidak serupa, sakralitas Tuhan mengalir dan membungkus sakralitas lingkungan. Siapa yang merusak lingkungan dan mengabaikannya, maka ia bisa disebut anti-tauhid. Sikap anti-tauhid adalah sikap tidak mengimani lingkungan dan alam semesta sebagai ciptaan Allah yang bisa semena-mena dieksploitasi dan dibiarkan rusak. Karena itu, sikap ini bisa disetarakan dengan kufr terhadap Allah. Yakni sikap ingkar dan tertutup untuk menghormati alam semesta sebagai karunia Allah yang harus dihormati, dimanfaatkan, dan dikelola dengan penuh tanggung jawab.

2.        Relasi Iman dan Lingkungan: Berfikir Secara Teleologis
Teleologi adalah studi filsafat tentang rancangan (penciptaan) dan tujuan. Paham ini menyatakan bahwa segala sesuatu itu dirancang atau diarahkan kepada hasil final bahwa ada tujuan inheren atau sebab terakhir bagi semua ciptaan yang ada. Kosmos (alam) ini tercipa dengan suatu tujuan. Teleologi dalam konteks lingkungan dapat menjadi dasar teologis bagi tindakan-tindakan manusia  terkait dengan lingkungannya. Karena kosmos itu teleologis, maka manusia memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk memanfaatkan dan mengelolanya dengan penuh tanggung jawab.
Makna teleologi sangat erat kaitannya dengan teologi, karena dalam teleologi ada pengakuan terhadap Sang Perancang atau al khaliq. Pengakuan terhadap Sang Perancang memiliki implikasi-implikasi penting di dalam menempatkan manusia dengan lingkungannya. Manusia didorong untuk bersikap harmoni dan ramah terhadap lingkungan. Kosmos mencerminkan adanya Allah yang dengan penuh maksud dan tujuan menciptakan alam. Alam tidak diciptakan secara sia-sia.
Karena sikapnya yang teleologis, kelestarian alam dapat rusak jika tidak dirawat atau diperlakukan semena-mena. Alam tidak akan memberikan kemanfaatan dan kebaikan jika hak-haknya dirampas oleh manusia. Hubungan manusia dan alam secara optik teleologis, adalah hubungan etis-strategis yang bila salah satunya rusak akan rusak pula hubungan itu. Krisis lingkungan dalam perspektif teleologis ini adalah cermin dari adanya krisis moral dan spiritual itu. teleologi, sebagaimana teologi, menyediakan seperangkat nilai kepada manusia untuk menempatkan moral dalam relasinya dengan alam atau kosmos. Nilai-nilai ini dalam wujud nyatanya adalah pemihakan dan gerakan pada kepentingan keberlanjutan lingkungan.

3.        Allah, Alam, dan Manusia: Relasi Sang Pencipta dan Ciptaan-Nya
Konsep mendasar bagi ekoteologi adalah dengan melihat relasi di antara Allah sebagai pencipta dan ciptaan-Nya yaitu alam yang disebut dengan makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos. Allah sebagai al-khaliq (Pencipta), mencerminkan suatu konsep mendasar bagi ekoteologi-tauhid. Konsep ini menegaskan bahwa ada Pencipta Tertinggi yang menjadi sebab bagi eksistensi semua kehidupan atau ciptaan. Allah adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain.
Pencipta kosmos (al-khaliq) yang di dalam al Qur’an bernama Allah disebut lebih dari 2500 kali (belum menghitung nama-nama lain seperti ilah, rabb, rahman, dan lain-lainnya). Mana Allah menurut al Qur’an bersifat fungsional, artinya Dia adalah Pencipta serta Pemelihara alam semesta dan manusia. Karena fungsional, Allah bersifat aktif. Dia terus hidup dan memberikan petunjuk kepada manusia baik melalui wahyu tertulis (qauliyyah/al Qur’an) maupun wahyu tak tertulis (fi’liyyah/kauniyyah/alam semesta). Konsep ini menyajikan prinsip-prinsip kosmologis yang penting bagi manusia di dalam memperlakukan lingkungan.
Allah sebagai al khaliq yang menghasilkan kosmos dengan seluruh hukum-hukumnya menandai keaktifanNya di dalam alam. Hubungan ini juga menandai bahwa kosmos bukanlah bayangan Tuhan atau khayalan yang bersifat tidak nyata atau palsu. Alam semesta adalah nyata, memberikan keindahan, kemanfaatan, dan menggambarkan kebesaran Tuhan. Bahkan dalam kenyataan alam, dunia mikrokosmos (manusia) diberi kewajiban untuk memelihara, memakmurkan, dan memanfaatkannya dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab inilah yang oleh al Qur’an disebut sebagai khalifatullah fi al-ardh.
Dalam al Qur’an Allah juga disebut al Fathir, kata ini bermakna atau sepadan dengan kata al-khaliq (Pencipta). Para penerjemah biasanya menafsirkannya dengan “pemula” atau “pencipta”, tetapi makna dasar dari akar kata itu adalah membelah, memecah, atau mengoyak. Ungkapan ini mengingatkan pada pemisahan langit dan bumi agar lahir sebuah kosmos. Jadi hanya kekuatan Tuhanlah yang dapat membuat langit dan bumi tetap terpisah. Proses pemisahan langit dan bumi dibenarkan dan diakui oleh sains. Proses ini tentu saja dapat mendukung pendapat bahwa Allah terhadap kosmos bersifat fungsional.
Dengan demikian, pandangan bahwa Allah adalah al-khaliq mendorong sikap hormat al-makhluq pada Sang Pencipta adalah hormat pula pada kosmos atau alam. Sebaliknya mengingkari Allah sebagai al-khaliq akan meniadakan nilai sakral bukan saja kepada Allah, tetapi juga kepada semua makhluk. Lebih lanjut, berpijak pada keismpulan ini, degradasi lingkungan harus dipandang sebagai akibat dari ateisme lingkungan.
Selanjutnya, makhluq atau khalq diterjemahkan sebagai ciptaan. Penciptanya disebut al-khaliq, yakni Allah. Penciptaan ini penting karena al Qur’an menginformasikan bahwa orang-orang penyembah berhala menghubungkan kekuatan penciptaan ini dengan berhala-berhala. Mereka mengingkari Allah sebagai pencipta dan menegaskan bahwa pencipta itu tidak lain adalah berhala-berhala yang mereka sembah dan puja. Al Qur’an dengan tegas menolak kepercayaan para penyembah berhala tentang Pencipta selain Allah. Al Qur’an juga menunjukkan bahwa kepercayaan sejarah manusia tentang penciptaan alam semesta beragam. Selain berhala-berhala, juga ada kepercayaan para ateis yang mempercayai alam terjadi dengan sendirinya, diantaranya adalah apa yang oleh al Qur’an disebut al-dahr. Kata al-dahr memiliki kesepadanan atau sinonim dengan zaman, ‘ashr, ayyam dan ‘aud. Al dahr melambangkan kesuraman dan kematian.
Informasi-inforkasi al Qur’an tersebut memperkuat fakta-fakta sejarah tentang adanya teologi penciptaan yang bukan saja lahir dari perspektif Islam, tetapi juga dari intelektual-intelektual Yudeo-Kristen. Jika demikian, terdapat beragam versi tentang nama yang dianggap pencipta makhluq, sampai akhirnya para teolog menyebut Allah atau Yahweh (Yahudi).
Tidak hanya tentang Pencipta, teori penciptaan juga beragam. Namun dari yang banyak itu mengerucut pada teori Big Bang (ledakan besar). Teori ini menyatakan bahwa alam semesta pada mulanya adalah sangat padat dan sangat panas. Pada peristiwa awal, ia mengalami ledakan kosmis (cosmic explosion) yang kemudian disebut big bang terjadi pada sekitar 10 hingga 20 miliar tahun lalu. Dan sejak itu, alam semesta mulai mengembang dan mendingin. Teori ini secara burturut-turut disempurnakan oleh para ilmuan seperti alexander Friedmen, Edwin Hubble, dan Fred Hoyle. Namun demikian, perspektif sains yang nampak sekuler dan tidak teologis justru menimbulkan kekaguman-kekaguman besar di kalangan para ilmuan itu, disamping tentu saja mendorong sikap ateisme. Relasi Tuhan dan alam semesta juga dapat dibentuk dari pandangan-pandangan tersebut. Bahkan ia bisa membentuk teologi lingkungan. Baik perspektif teologis maupun sains, keduanya sama-sama menyumbangkan kelestarian ataupun kehancuran alam bergantung pada struktur filosofis yang menyusun bangunan relasi diantara keduanya.

4.        Konsepsi Khalifatullah fi al-ardh: Reinterpretasi Posisi dan Kuasa Manusia
Konsep Khalifatullah fi al-ardh dalam tradisi pemikiran Islam sangat penting. Ia tidak saja terkait dengan masalah-masalah teologis dan politik, tetapi juga terkait dengan masalah-masalah lingkungan. Jagat raya dan kekayaan alam seperti hutan, sungai, tanah, batubatuan, gunung, bukit, dan tumbuh-tumbuhan adalah tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah) yang harus dipelihara dan dikembangkan manusia. Dalam hal ini, peran manusia dalam menjaga lingkungan dan melestarikan lingkungan merupakan tugas penting yang tidak dapat dipandang sebelah mata, mengingat posisi manusia adalah sebagai khalifah fi al-ardh. Lebih tegasnya, al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia adalah mandataris Allah di muka bumi, yaitu QS. Al-Baqarah: 30:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ   
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."( QS. Al-Baqarah: 30).
Ayat tersebut, kata khalifah yang terdiri dri huruf kha’, lam, dan fa’ (khalafa-yakhlufu) menunjukkan tiga arti, yaitu “mengganti”, “belakang”, dan “pergantian atau suksesi”. Kata ini berkembang menjadi “wakil” atau “pemimpin”. Bila kata khalifah dihubungkan dengan Allah dan membentuk khalifatullah maka menunjukkan arti wakil Allah. Manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh mengandung makna bahwa manusia itu adalah wakil Allah di muka bumi yang selayaknya menjaga lingkungan dan melestarikannya. Hal ini memiliki arti bahwa manusia menghayati ciptaan Allah di muka bumi. Hal ini pula mengindikasikan bahwa melaksanakan fungsi khalifah melalui pelestarian lingkungan termasuk sikap mengakui keberadaan Allah. Memahami kedudukan manusia dengan mengakui keberadaan Allah dalam segenap ciptaannya dapat membantu memperkuat konsep khalifatullah fi al-ardh (wakil Tuhan di muka bumi), yang ditujukan kepada manusia. Manusia adalah makhluk Tuhan yang secara khusus diberi amanah untuk menjadi khalifah, sehingga menjaga nilai-nilai dan prinsip moral untuk melestarikan lingkungan, tidak saja tuntutan melainkan juga mengandung nilai tanggung jawab yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban kelak. Dalam hal ini, konsep khalifatullah fi al-ardh memiliki pandangan berbeda dengan konsep kepemimpinan (leadership and power) dalam pandangan umum yang selama ini dikenal dalam teori demokrasi.
Konsep khalifatullah fi al-ardh sebagai pemimpin sangat dekat dengan konsep amanah. Kata amanah adalah sebuah konsep penting dalam suatu kepemimpinan karena di dalamnya mengandung tugas membangun peradaban di muka bumi berikut upaya-upaya memakmurkannya. Bumi dan berbagai sumber dayanya adalah amanah yang dipercayakan Allah kepada manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh. Merusak lingkungan dan mengeksploitasinya tanpa rasa tanggung jawab adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanah dan ini menandai sebuah kelalaian terhadap sebuah kepemimpinan dalam kerangka khalifatullah fi al-ardh. Hal ini senada dengan pendapat Yusuf Qaradhawy yang menggabungkan khalifatullah fi al-ardh dengan ibadah, yaitu usaha menanam, membangun, memperbaiki, menghidupi, serta menghindarkan dari hal-hal yang merusak. Jadi, pemaknaan khalifatullah fi al-ardh dalam kerangka ekologis bersifat lebih universal, membumi, dan merangkul semua keluarga besar biotik dunia yang diikat oleh nilai-nilai etika yang muncul dari tradisi-tradisi agama maupun kearifan peradaban manusia.
Kepemimpinan yang bermakna kekuasaan sepenuhnya hanya melekat pada manusia melalui tiga konsepsi dasar, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat dan terlepas dari kaitan nilai-nilai ilahiah. Tidak seperti konsep umum tentang kepemimpinan yang memasukkan unsur free will (kehendak bebas) yang menempatkan manusia sebagai penguasa atau raja, konsep khalifah tidak mengenal power dan free will dalam konsep kepemimpinan, sebab manusia tidak seperti pandangan kaum antroposentris yang memandang manusia sebagai pusat aktifitas, tetapi manusia juga bersifat antroposofis yang berpandangan bahwa di dalam diri manusia terdapat nilai-nilai ketuhanan yang lebih tinggi dari dirinya, dan antropokosmis, yakni manusia bagian entitas dari alam.
Konsepsi khalifatullah fi al-ardh di atas, memperluas pandangan umum tentang kepemimpinan. Manusia sebagai khalifah memiliki dua nilai yang saling berkaitan dalam konsepsi kepemimpinan. Pertama, sebagai wakil Allah yang berperan menegakkan ketauhidan, keadilan, keselamatan manusia dan lingkungan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Kedua, sebagai makhluk yang memiliki kewajiban taat beribadah kepada Allah. Disinilah konsepsi khalifatullah fi al-ardh dan menjaga lingkungan menemukan titik temu yang saling melengkapi dan berkaitan erat dalam kehidupan manusia.










BAB III
KESIMPULAN

Mudhofir Abdullah dalam disertasinya, menyorot tentang persoalan konservasi lingkungan dimana manusia sebagai khalifah fi al-ardh memiliki tugas untuk menjaga lingkungan sekitar. Dalam pembahasan malakahnya, pemakalah lebih menyorot kepada pemikiran Mudhofir Abdullah dari perspektif teologi lingkungannya. Bersikap tauhid kepada lingkungan bisa juga mengandung pemahaman bahwa manusia harus memelihara lingkungan sebagaimana manusia harus bersikap pasrah kepada Tuhan. Dalam arti lain, Tauhid sebagai pilar penopang tindakan manusia, menjadi dasar semua pandangan tentang kebaikan, keteraturan, keterbukaan, dan kepasrahan manusia kepada Tuhan, yaitu mematuhi sunnatullah. Konsep tauhid yang pada awalnya berarti mengesakan Allah, pada tahap selanjutnya dapat juga digunakan sebagai konsep manusia baik dalam sosial, budaya, termasuk dalam memperlakukan lingkungan sekitarnya.
Konsep al Qur’an tentang penciptaan dan relasi Tuhan, manusia, dan alam semesta bisa menyumbangkan dua tindakan: poritif dan negatif. Sumbangan positif diperoleh bergantung pada pemaknaan kreatif pesan-pesan al Qur’an tentang lingkungan. Potensi-potensi teologis al Qur’an sangat memadai untuk kebajikan lingkungan. Misalnya, ajaran dasar tentang konsep teleologis bahwa alam itu diciptakan dengan suatu tujuan dan untuk memberi tanda kekuasaan Allah. Implikasi positif dari pendangan ini adalah keharusan manusia untuk memanfaatkan alam dengan penuh tanggung jawab sebagai bentuk penghormatan kepada Allah atau yang dalam al Qur’an disebut syukr. Alam semesta, dalam konteks ini bukanlah sebuah ciptaan sia-sia, palsu, atau kebetulan saja tetapi sebuah ciptaan yang penuh maksud dan dalam batas-batas tertentu memiliki keindahan serta kekaguman yang menunjuk pada pencipta-Nya, yakni Allah. Implikasi positif lainnya, pandangan semacam itu menghadirkan sikap spiritual yang memandang alam sebagai keseluruhan dari Esensi yang Satu, yakni Allah. Sikap ini dapat membentuk sikap “devotional” yakni sikap memuji Allah dan ciptaan-Nya karena kemurahan-kemurahan yang diberikan Allah kepada manusia.
Adapun pengaruh negatif-destruktifnya adalah pada pemaknaan yang tidak kritis terhadap perintah penundukan manusia terhadap alam dan konsep penguasaan manusia atas alam dalam konsep khalifatullah fi al-ardh. Jika ayat-ayat ini tidak diklarifikasi ke dalam sajian-sajian ekologis, maka akan berimplikasi pada sikap-sikap antroposentris, yakni manusia sebagai penguasa alam yang cenderung pada sikap semena-mena atau eksploitatif terhadap alam. Implikasi lainnya adalah menganggap alam hanya semata-mata sebagai objek bukan subjek dan mmendorong pada ciptaan non-manusia (yakni alam semesta dan lingkungannya) dihargai bukan pada nilai intrinsiknya melainkan hanya atas dasar nilai intrumentalnya bagi manusia. Makhluk non-manusia dilihat hanya dari optik kepentingan manusia saja tanpa mempertimbangkan keharusan-keharusan moral manusia terhadap perlindungan alam.
Manusia dan lingkungan adalah dua sisi pada mata uang yang sama. Makin kuat dan etis manusia, maka akan makin kuat dan etis lingkungan. Sebaliknya, makin kritis dan rusak manusia, maka menandai makin kritis dan rusak moral manusia.



[1] Pelopor pandangan ekoteologis Islam

No comments:

Post a Comment