Tuesday, September 20, 2016

Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

PEMIKIRAN SAID NURSI
(Tentang Al Qur’an dan Tasawuf)


Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

















BAB I
PENDAHULUAN
Al Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diyakini secara konsensus (ijma’) otentisitas dan orisinalitasnya sebagai hudan li al-nas dan rahmatan li al-alamin. Sebagai kitab suci yang memiliki posisi sangat penting bagi kehidupan manusia dan yang relevan bagi setiap ruang dan waktu ia senantiasa ditafsirkan.[1] Al-Qur’an merupakan ide-ide yang universal yang berlaku sepanjang masa dimanapun al-Qur’an diaplikasikan. Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana al-Qur’an yang mengusung ide-ide universal itu merespon perkembangan zaman yang tentunya berbeda secara kultur ketika dia diturunkan. Persoalan ini mendorong para sarjana untuk menginterpretasikan dan menerjemahkan ide universal itu ke dalam bahasa yang difahami oleh manusia yang hidup pada zamannya. Munculnya kitab-kitab tafsir sejak abad awal perkembangan Islam sampai sekarang merupakan indikasi ke arah itu. Problem yang paling dirasakan kemudian adalah otoritas sang penafsir atas interpretasinya terhadap al Qur’an, sampai dimana keabsahan interpretasinya diakui sebagai sesuatu yang mencerminkan ide dasar al-Qur’an. Hal ini terkadang melahirkan penilaian yang berbeda bahkan klaim-klaim yang miring terhadap hasil interpretasi seseorang karena berbeda paradigma dan kepentingan.
Jeram-jeram studi terhadap al Qur’an model penafsiran yang didasarkan pada bagaimana kondisi sang penafsir. Peran sang penafsir yang selalu dilungkupi oleh kultur yang berbeda satu sama lain, dan selalu berkembang dari zaman ke zaman secara pasti akan melahirkan pola pemikiran yang berbeda. Konsekuensinya adalah intrepretasi terhadap teks suci itu juga berbeda. Dari sinilah corak-corak tafsir muncul yang berjalan seiring dengan kecenderungan sang penafsir. Dari perspretif inilah tokoh menjadi parameter atau tafsirannya.
Berkaitan dengan hal ini, bagaimana al-Qur’an yang ada di masa pergolakan antara ideologi-ideologi besar seperti imperialisme dan komunisme ditafsirkan. Kecenderungan tafsir pada masa-masa sebelum abad XX tergantung pemenuhan “kepentingan” umat Islam yang sifatnya internal, dalam arti kata penafsiran al-Qur’an “hanya” untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan “rumah tangga” Islam dan belum menyentuh kepentingan di luar “rumah tangga” Islam seperti balancing terhadap kekuatan ideologis, baik kapitalisme ataupun komunisme, pergolakan dan revolusi terhadap tatanan yang mapan dan menghegemoni, dan lain sebagainya. Pada umumnya corak tafsir al-Qur’an berkisar pada akidah, hukum, filsafat dan tasawuf dengan saling mengkritik antar mufasir yang berbeda paradigma, sedangkan interpretasi yang bernuansa kritik terhadap paradigma yang melemahkan sendi Islam belum banyak dilakukan. Padahal diskursus tentang persoalan ini sangat in ketika al Qur’an bersentuhan dengan kultur abad XX.
Bediuzzaman Said Nursi adalah salah satu tokoh di antara ratusan tokoh yang mencoba merumuskan gagasan-gagasan “Qur’ani” untuk merespon perkembangan zaman yang sedemikian rupa yang terjadi pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Beliau hidup ketika dunia Islam baik politik maupun intelektual, dihantam badai peradaban Eropa yang dalam beberapa hal dipandang bertentangan dengan spirit universalitas ide al-Qur’an. Oleh karena itu, dia menulis risalah yang berisi tentang kupasan terhadap kandungan al-Qur’an dengan semangat abad XX yang dikenal dengan Risalah An-Nur.
Bediuzzaman Said Nursi bukan seorang penulis dalam arti biasanya. Beliau menulis karya indahnya Risalah An Nur, kumpulan karya setebal 5000 halaman karena beliau mempunyai misi: beliau berjuang melawan kecenderungan pikiran ke arah materialisme dan ateisme yang dijejalkan oleh sains dan filsafat dan beliau berusaha menyajikan kebenaran Islam kepada pikiran dan hati modern dalam berbagai tingkat pemahamman. Risalah An Nur, tafsir modern al Qur’an, pada garis besarnya membahas masalah eksistensi dan ketunggalan Allah, hari kebangkitan, kenabian, kitab suci, terutama al Qur’an, eksistensi alam ghaib, takdir Ilahi dan ikhtiar manusia, ibadah, keadilan dalam hidup manusia, dan posisi serta kewajiban manusia di antara makhluk-makhluk lain.[2]












BAB II
PEMBAHASAN
A.       Biografi Said Nursi
Bediuzzaman Said Nursi dilahirkan menjelang fajar musim semi di Nurs, sebuah desa kecil di propinsi Bitlis wilayah Turki Timur pada 1293 H/1877 M.  Keluarganya adalah suku Kurdi, ayahnya bernama Mizan, ia adalah seorang sufi dari Ordo Naqsyabandi dan ibunya bernama Nuriye (Nuriyyah) berasal dari Bilkin. Mereka mempunyai tujuh orang anak yaitu Durriyah Hanim, Alimah Hanim, Abdullah, Said, Muhammad, Abdul Majid dan Marjan.[3] Nenek moyang Nursi berasal dari Isbartah (Isparta), mereka berasal dari keturunan ahl al-bayt. Mirza adalah keturunan Hasan bin Ali dan Nuriyyah keturunan dari Husein bin Ali.[4]
Dikalangan masyarakat luas, Mirza dikenal sebagai seorang yang Sufi karena sifat wira’inya. Sejak masih belia, Mirza telah diajarkan untuk menjaga diri dari barang yangharam. Bahkan lembu-lembunya tidak ia izinkan makan rumput yang tidak jelas kehalalannya. Mirza juga menghiasi nafasnya dengan dzikir kepada Allah. Sedangkan Nuriye yang hafal al Qur’an selalu menjaga  dirinya dalam keadaan berwudhu. Saat mengandung anak-anaknya, termasuk ketika mengandung Said, Nuriye tidak menginjakkan kakinya ke atas bumi kecuali dalam keadaan suci, dan tidak meninggalkan shhalat malam, kecuali saat udzur. Nuriye tidak mengizinkan dirinya menyusui anak-anaknya, terutama Said dalam keadaan tidak suci. Said menjadi semacam ayat bahwa kesucian cinta karena Allah akan melahirkan keberkahan dan keajaiban yang tidak pernah disangka-sangka.[5]
Said Nursi di usia kecil sudah memperlihatkan tanda-tanda seorang yang jenius. Hal ini seperti terlihat dalam kebiasaan beliau banyak bertanya dan gemar menelaah masalah-masalah yang belum dimengertinya. Ia juga suka membuat pertanyaan-pertanyaan yang ilmiah dalam benaknya. Selain itu, Said Nursi juga gemar menghadiri forum pendidikan yang diselenggarakan untuk orang-orang dewasa dan menyimak diskusi-diskusi tentang berbagai kajian, khususnya majelis ilmiah yang dihadiri oleh para ulama setempat dirumah ayahnya. Selain itu ia juga terkenal anak yang pandai memelihara haarga diri dari perbuatan zalim. Sifat dan sikap tersebut terus melekat dan bertambah kuat dalam kepribadiannya.[6]
Said Nursi hidup pada zaman kekhalifahan Turki Usmani pada masa kekuasaan sultan Hamid II hingga Turki Modern yang dipimpim oleh Mustafa Kemal Attaruk. Beliau meninggal pada 20 Maret 1960 di Sanhurfa. Pada masa ini, muncul tokoh-tokoh besar umat Islam dengan karakter dan strategi perjuangannya masing-masing dalam menegakkan kalimat Allah. Seperti di India dan Pakistan muncul Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy (1886-1948) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948). Di Libya muncul Syeikh Omar Mukhtar (1858-1931) yang mendapat julukan The Lion of Desert from Libya. Di Mesir muncul Syeikh Mustafa Al-Maraghi (1881-1945) dan Syeikh Hasan Al-Banna (1906-1949). Di Pelestina muncul syeikh Muhammad Amin Al-Husaini (1895-1974), mufti besar Palestina yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Di Aljazair muncul syeikh Abdul Hamid bin Badis atau dikenal Ibnu Badis (1889-1940). Dan di Indinesia tidak kalah dengan dunia Islam lainnya, hadir tokoh Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari (1875-1947), mbah Wahab Hasbullah (1888-1971) dan kyai haji Ahmad Dahlan (1868-1928).[7]

B.       Riwayat Pendidikan Said Nursi
Semasa muda sekitar usia sembilan tahun, Sadi Nursi mulai belajar al Qur’an dengan kakaknya, Abdullah. Untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu, pertama kalinya mereka pergi ke madrasah Muhammad Afandi di desa Tag dekat Isparta. Pemilik madrasah tersebut syeikh Abdurrahman Tagi sangat menyayangi murid-muridnya yang dari Nurs. Ia pernah berkata bahwa salah satu dari muridnya kelak menjadikan Islam bangkit kembali. Namun Said Nursi tidak lama di madrasah tersebut. Pada tahun 1888, dengan penuh semangat beliau pergi ke sekolah syeikh Emin Efendi di Bitlis. Tetapi Syeikh Emin pada saat itu sedang sakit, tidak bisa mengajar dan menyuruh murid yang lain untuk menggantikannya. Hal tersebut ditolak oleh Said Nursi, akhirnya ia pendah ke madrasah Mil Hasan Wali di Mukus yang saat itu Abdel Kerim menjadi kepala sekolahnya. Namun, disana ia hanya bertahan beberapa hari dan kemudian pergi ke Vaston dekat Van. Setelah satu bulan disana, ia bersama temannya Muhammad pergi menuju Bayazid. Disinilah Said Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama dasar sebelumnya ia telah mempelajari buku-buku tata bahasa dan sintaksis Arab.[8] Di sekolah tersebut ia mendapat bimbingan dari syeikh Muhammad Jalali. Said Nursi memperlihatkan kesungguhannya dengan mempelajari dan membaca buku yang tebalnya sekitar dua ratus halaman lebih setiap harinya meskipun terkadang bahasanya sulit dimengerti.semula itu pula ia terputus dengan dunia luar karena keinginannya untuk fokus mempelajari ilmu agama.
Setelah tiga bulan berlalu, ia mendapat ijazah diploma dari syeikh Muhammad Jalali. Sekitar tahun 1889 ia berangkat ke Bitlis untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh Muhammad Amin. Selanjutnya dari kota itu ia melanjutkan ke Siirt untuk menemui seorang ulama’ yang terkenal bernama Fethulllah Efendi. Ia menguji Said Nursi dengan menanyakan mengenai kitab yang berjudul al Jami’. Said Nursi dapat mengingat dan menguasai dengan baik kitab tersebut. Selain itu Fethulllah Efendi juga menguji buku lain yang berjudul al Maqamat al Haririyah kepada Said Nursi. Ia menghafal satu halaman kemudian mengulanginya tanpa membaca. Hal tersebut membuat Fethulllah Efendi kagum. Atas prestasinya ia memberikan sebutan Bediuzzaman bagi Said Nursi yang berarti Keajaiban Zaman. Ketika Said Nursi disana, ia juga memanfaatkan waktunya untuk menghafalkan buku yang berjudul Jam’ul Jawami (kitab mengenai ilmu fikih) karya Ibn As-Subki selama sehari selama seminggu.[9]

C.       Karir dan Kiprah Said Nursi di Masyarakat
Pada masa-masa awal Said Nursi muda memperlihatkan kehebatannya dengan menguasai berbagai macam ilmu. Bahkan pada umurnya yang menginjak 15 tahun sudah hafal puluhan kitab referensi yang penting dan banyak mengalahkan ilmu yang dimiliki ulama-ulama yang lebih senior. Ada kegelisahan dalam dirinya bahwa pendidikan saat itu kurang tepat, karena lebih mengandalkan ilmu-ilmu umum yang lebih sekuler. Itu diakibatkan oleh silaunya pengambilan kebijakan akan budaya Eropa ketika itu.
Pada tahun 1910-an, Badiuzzaman Said Nursi mengusulkan sistem pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum secara dikotomis, tetapi seharusnya ilmu agama diajarkan pada sekolah-sekolah umum. Demikian pula sebaliknya, pada sekolah-sekolah umum juga dipelajari ilmu-ilmu agama, tidak hanya itu, bahkan pendidikan juga harus menyentuh penyucia jiwa dan kehalusan budi (sufisme). Beliau ingin membangun medresetuz zahra yang menggabungkan tiga hal, yaitu sekolah modern yang mengajarkan ilmu-ilmu modern, madrasah yang mengajarkan ilmu syariah, dan zawiyah para sufi yang membina penyucian jiwa dan kehalusan adab. Dalam filsafat ilmu Bediuzzaman ingin menegaskan pentingnya ontologi, epistemologi dan aksiologi. Atas ide-idenya itu dia sering berhadapan dengan para penguasa dan mulai dikucilkan bahkan dipenjarakan.
Pada masa sulta Abdul Hamid II, Said Nursi berjuang mati-matian agar penguasa membuat kebijakan menerapkan pendidikan yang integral itu. sayang, lingkaran birokrasi tidak mengizinkan Said Nursi bertemu langsung dengan sang Sultan. Ketika itu sang Sultan meneruskan kebijakan pendidikan yang menitikberatkan pada pendidikan modern yang berkiblat pada Eropa. Dari pendidikan modern itu, lahirlah Young Turk Movement. Mereka itu yang mengotaki pelengseran sang Sultan, bahkan pembubaran khilafah Utsmaniah pada 3 Maret 1924 dan menghapusnya dari muka bumi. Kemudian Turki dipimpim oleh Mustafa Kemal Attaruk yang berpaham sekuler.
Sejak dikukung kekuasan tiran Mustafa Kemal yang ekstrem-sekuler, Turki mengalami masa-masa gelap gulita yang pekat. Simbol-simbol agama dilarang, masjid-masjid banyak ditutup, kantor Syaikhul Islam di Istanbul dijadikan gedung dansa, adzan memakai bahasa Arab dilarang, zawiyah-zawiyah sufi ditutup, madrasah-madrasah dilarang mengajarkan al Qur’an. Huruf dan angka hijaiyyah dilarang digunakan, diganti dengan latin. Mustafa Kemal ingin menghapus semua jejak Islam dengan harapan dapat diterima oleh bangsa-bangsa Eropa.[10]

D.       Karya Said Nursi
Karya-karya pemikiran Said Nursi yang telah beliau curahkan diantaranya adalah Isharat al I’jaz, Qazil I’jaz fi Mantiq, al Sanuhat serta makalah-makalahnya seperti Rumuz, Isharat, Tulu’at, Lama’at, Shafa’at, Min Ma’rifah al Nabi SAW, Nuqtah min Ma’rifat Allah Jall Jalaluh, the Words (kumpulan kata), The Letters (kumpulan surat), al Hijab, dan al Shuyukh.[11] Selain itu karya yang sangat terkanal sampai sekarang yang ia tulis saat pengasingan berupa Risalah An Nur. Dalam penulisan Risalah an Nur, Said Nursi tidak menggunakan sumber-sumber lain kecuali al Qur’an al Karim, dia meminta petunjuk dan ilham dari ayat-ayat yang mulia itu. Ia hidup dalam suasana hati dan jiwa yang tulus mendalami ayat-ayat tersebut.[12]
Diantara koleksi Risale-i Nur yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
1.         Menjawab yang Tak Terjawab, Menjelaskan yang Tak Terjelaskan. Buku ini memuat tentang kehidupan, rahmat dalam kematian dan kemalangan, Asma Allah, Mukjizat Rasulullah, makna mimpi, hikah penciptaan syetan, mengapa harus ada mukjizat dan lain sebagainya.
2.         Sinar Yang Mengungkap Sang Cahaya : Epitomes of Light, berisi tentang tafsir kalimat Laa Ilaha Illallah yang menjadikan segala sesuatu yang ada dijagad ini bagaikan rangkaian keping-kepingan bermakna yang memantulkan keEsaan Allah.
3.         Menikmati Takdir Langit: Lama’at. Buku ini mengandung 33 Cahaya, membahas peristiwa yang menimpa Nabi Allah SWT, mengenai kemukjizatan Rasulullah, keutamaan munajat (doa), tentang kabar ghaib dari ayat al Qur’an, Minhaj as-Sunnah, Ma’rifat terhadap Allah dan Rasulullah, pembahasan tentang akhlak.
4.         Alegori Kebenaran Ilahi, buki ini memuat tentang eksistensi dan ketunggalan Tuhan, hari kiamat, kitab suci, kerasulan takdir Ilahi dan keadilan dalam hidup manusia, dan posisi serta kewajiban manusia diantara makhluk-makhluk lainnya.
5.         Dari Bilik Lembaran Suci, buku ini berisi tentang hikmah wahyu dan pemikiran manusia, al Qur’an: kefasihan dan ilmu pengetahuan, dan AlQur’an yang menakjubkan.
6.         Episode Mistis Kehidupan Rasulullah, berisi pembahasan mengenai al Qur’an sebagai mukjizat rasulullah dan beberapa jenis mukjizat lainnya.
7.         Mi’raj Menembus Konstelasi Langit, memaparkan mengenai hakikat dan hikmah mi’raj Rasulullah SAW.
8.         Dimensi Abadi Kehidupan, mengupas tentang hari kebangkitan dan akhirat.
9.         Dari Cermin KeEsaan Allah, mengulas lebih banyak tentang manifestasi keEsaan Allah pada alam semesta dan manusia.
10.     Misteri Kebangkitan dan Kehidupan Setelah Mati, berisi tentang kebangkitan dan kehiduan setelah mati,jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang surga, hari kiamat, kehancuran dunia dan kehidupan setelah mati.

E.       Dimensi Tasawuf Said Nursi
Salah satu mutiara rohani yang muncul di tengah-tengan arus ateisme dan sekularisme adalah Said Nursi. Sadi Nursi sang Badiuzzaman merupakan seorang pejuang, pemikir dan sufi besar abad 20. Ia seorang tokoh spiritual yang sangat berpengaruh dan guru yang dianggap sebagai pemelihara serta pengawal spirit moralitas keislaman di Turki meskipun dihajar sekularisme Barat. Pemikiran Said Nursi tentang tasawuf berdasarkan pada pemahamannya terhadap al Qur’an dan pengalaman, baik berupa pengamatan terhadap suatu realitas maupun perjalanan spiritualnya sendiri.[13]
Atmosfer sufistik pada diri Said Nursi memang sudah terlihat sejak dini. Saat berumur sebelas tahun, ketika belajar kepada Syekh Muhammad Celali, Nursi selalu menghabiskan sebagian besar waktunya terutama pada malam-malam hari di makam seorang wali suku Kurdi dan penyair, yaitu Syekh Ahmad Hani. Banyak orang mengatakan bahwa Nursi secara khusus mendapat pancaran berkah spiritual Ahmad Hani. Sejak dini Nursi, tampaknya ia juga sudah mempunyai hubungan mistis dengan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Ia mengisahkan bahwa berulang kali ketika terjebak dalam persoalan-persoalan yang tak terpecahkan, ia akan memohon bantuan kepada al-Jilani dengan doa-doanya, dan sang syekh akan membantu Nursi. Akan tetapi keasyikan Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama mencegah keterlibatan dirinya dengan tarekat apapun termasuk tarekat Qadiriyah.
Nursi mengakui pula bahwa titik kulminasi yang mempengaruhi dirinya menjalani kehidupan wira’i dan zahid adalah Abdul Qadir al-Jilani dan Ahmad Sirhindi atau lebih dikenal dengan Imam Rabbani. Mengenai al-Jilani, Nursi menemukan nasihat-nasihat spiritualnya melalui karya besarnya Futuh al-Ghaib. Ketika membaca kitab tersebut, Nursi menyadari bahwa sekalipun dirinya seorang pembingbing ruhani yang diharapkan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit ruhani umat Islam, ternyata Nursi sendiri secara spiritual mengidap penyakit yang lebih parah. Sebuah kutipan dari Al-Maktubat akan membantu mengilustrasikan pengakuan Nursi:
“Membaca kitab itu (Futuh al-Ghaib) bagaikan menjalani sebuah operasi besar pada diri jasmaniku. Aku tidak tahan membaca nya sampai tuntas. Aku hanya membacanya sampai separuh dan mengembalikannya ke rak buku. Sejenak kemudian, rasa sakit akibat operasi itu menjelma kesenangan karena aku sembuh. Lalu kulanjutkan membaca kitab dari guru pertamaku itu sampai akhir dan mendapatkan manfaat besar darinya. Aku selalu mendoakannya dan mendapat pencerahan spiritual yang berlimpah.”

Sedangkan mengenai Ahmad Sirhindi, Nursi menelaah salah satu karyanya yaitu Maktubat (Surat-Surat) dengan niat yang jernih. Melalui kitab tersebut, Imam Rabbani menasihatkan agar Nursi hanya mengambil satu saja pembimbing untuk menuju istana kebenaran hakiki. Awalnya Nursi bingung dengan nasihat tersebut. Tetapi lama-kelamaan, ia menyadari bahwa satu-satunya pembimbing sejati yang harus dijadikan pembina abadinya adalah Al-Quran.
Faktor-faktor yang menyebabkan Nursi melakukan pembaruan tasawuf bersifat historis dan kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat Turki di mana Nursi hidup. Mengenai hal tersebut, setidaknya ada beberapa faktor yang mengantarkan Nursi menyuarakan pembaruan tasawuf. Pertama, kegersangan spiritual masyarakat Muslim Turki yang dalam pengamatan Nursi disebabkan terkontaminasi oleh pelbagai penyimpangan dalam ajaran-ajaran Islam. Mayoritas masyarakat Muslim Turki pada era Nursi hidup sedang mengalami piuncak krisis keimanan karena runtuhnya tatanan sosial dan perubahan-perubahan sosial serta politik sebagai konsekuensi dari reformasi yang dikenal sebagai Tanzimat.
Kehampaan spiritual ini berpuncak pada saat Mustafa Kemal mengambil alih kekuasaan dalam pemerintahan Turki pada awal abad ke-20. Ketika Mustafa Kemal tampil sebagai pemimpin tertinggi negara, terjadilah sejumlah perubahan radikal: kekhalifahan ditanggalkan, undang-undang negara yang berdasarkan syariat Islam diganti dengan undang-undang Swiss; seluruh penentang langkah yang ditempuhnya disingkirkan, kehidupan model Barat dipaksakan bahkan diundangkan kepada bangsa Turki; tindakan para penentangnya divonis sebagai subversi lalu dihukum dengan hukuman yang berat; hurup Arab diganti dengan hurup Latin, sampai azan pun dikumandangkan dalam bahasa Turki, dan sejumlah perubahan mendasar lainnya.
Mustafa Kemal menerapkan sekularisme secara total yang menyebabkan masyarakat Muslim Turki mengalami kegelisahan spiritual. Nursi membaca kegersangan spiritual tersebut dan berusaha menyuguhkan jawaban-jawaban solutif yang bernuansa sufistik. Akan tetapi Nursi menyadari bahwa wacana-wacana sufistik yang harus ia hadirkan bukan tasawuf lama yang sedikit banyak sudah mengalami penyimpangan dan sudah tidak relevan bagi kebutuhan zaman kontemporer, melainkan tasawuf baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim Turki abad ke-20.
Tasawuf lama yang sudah terfragmentasi dalam puspa ragam gerakan tarekat, seperti tarekat Naqsabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah, Maulawiyah, dan lainnya, bagi Nursi sudah tidak kompatibel lagi untuk menjawab kebangkrutan ruhani masyarakat Muslim dewasa ini. Dalam pengamatan Nursi, permasalahan yang paling fundamental bagi mayoritas kaum Muslim, khususnya umat Islam Turki pada abad ke-20 adalah menyelamatkan keyakinan dan memperkokoh keimanan mereka yang semakin dilanda krisis karena diterjang oleh gencarnya serangan sekularisme dan materialisme.
Nursi memang mengakui bahwa usahanya untuk mengokohkan keyakinan kaum Muslim Turki yang sedang mengalami krisis spiritual menyerupai wejangan-wejangan tasawuf namun melampaui metode-metode sufisme lama. Jika hakikat keyakinan yang diperoleh dalam tasawuf berdasarkan amal ibadah, suluk, dan latihan ruhani, melalui Risalah Nur Nursi berusaha memperkuat keyakinan umat Islam dengan amal ibadah, wirid, dan suluk yang disertai ilmu pengetahuan bersama dengan dalil-dalil argumentatif yang bersifat aqliah sehingga bisa ditransfer kepada orang lain dan memberi manfaat kepada sesama.
Menurut Nursi, kegelisahan sebagian besar masyarakat Muslim tidak bisa lagi ditanggulangi dengan wacana-wacana tasawuf lama yang sudah terkotak-kotak dalam pelbagai bentuk tarekat, melainkan harus dengan rumusan baru agar bisa diterima oleh semua golongan masayarakat Muslim. Pada titik inilah, Nursi berusaha memaknai tasawuf dengan langsung menimba lentera kearifannya dari Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai dua sumber fundamental Islam. Tujuannya tidak lain agar apa yang disuarakan oleh Nursi dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Muslim yang tengah mengalami kegelisahan eksistensial, sebuah kedahagaan ontologis.
Melalui pembacaan baru terhadap tasawuf yang berpedoman secara langsung kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi, dalam perspektif Nursi akan menghasilkan sebuah jawaban yang lebih bersifat universal dan inklusivistik, sebab tidak tersekat dalam salah satu aliran sufi tertentu. Sementara itu tasawuf dengan berbagai kelompok tarekatnya telah membangun tembok-tembok eksklusifisme melalui hubungan sakral antara seorang guru (mursyid) dengan para murid-muridnya. Padahal dalam abad 20 yang dibutuhkan mayoritas masyarakat Muslim adalah persaudaraan di jalan Allah (al-ukhuwah fillah), yakni sebuah persaudaraan yang dirajut oleh ikatan kecintaan dan keimanan antara sesama kaum Muslim, bukan persaudaraan yang direnda oleh ikatan darah antara anak dan orang tua, serta bukan pula hubungan antara mursyid dan murid.
Berdasarkan alasan tersebut, yakni supaya wacana-wacana tasawuf bisa diterima semua lapisan kaum Muslim yang tengah mengalami kegelisahan spiritual akibat krisis keimanan, Nursi melakukan pembacaan baru terhadap tasawuf yang digali langsung dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Nursi dengan tegas menyatakan bahwa zaman sekarang, yaitu sejak era Nursi hidup, bukan lagi zaman sufisme atau tarekat sufiyah, melainkan zaman untuk menyelamatkan keimanan masayarakat Muslim yang tengah dilanda krisis kebangkrutan spiritual. Lebih jauh, sehingga dalam tilikan Nursi, kebajikan teragung pada abad duapuluh adalah menyelamatkan keimanan kaum Muslim yang tengah dilanda krisis keimanan.
Kedua, faktor penyimpangan-penyimpangan yang terjadi secara kontekstual dalam pengamalan-pengamalan sufisme sekaligus dalam wacana sufisme itu sendiri secara substantif. Meskipun Nursi cukup apresiatif terhadap wacana-wacana tasawuf dan para empu-empu sufi, semacam Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Maulana Jalaluddin Rumi, Ibn al-Arabi, dan Imam Rabbani, sikap apresiatif tersebut tidak menghalanginya untuk tetap bersikap kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tasawuf.
Menurut Nursi jalan kesalehan yang paling indah, paling lurus, dan paling cemerlang adalah mengikuti teladan Sunnah Nabi dalam semua tingkah laku, perbuatan, dan mematuhi perintah syariah. Aturan-aturan dalam syariah yang berhubungan dengan puspa ragam amal kebajikan yang merupakan buah wahyu Ilahi adalah lebih agung dan lebih penting ketimbang pelbagai amal kebajikan yang diajarkan dalam orde sufi yang merupakan produk inspirasi atau ilham. Alasan fundamentalnya adalah karena wahyu jauh lebih tinggi ketimbang ilham. Dengan alasan ini, pijakan sufisme yang paling penting seharusnya mengikuti Sunnah Nabi yang mulia.
Selanjutnya dalam merekonstruksi tasawuf, Nursi tidak sekadar menimba kearifan dari Sunnah Nabi, tetapi ia juga langsung menelisik Al-Quran yang suci. Bangunan tasawuf secara baru yang ia konstruksikan dari Al-Quran membuahkan empat prinsip atau langkah besar, luas, umum, dan universal bukan sepuluh langkah atau tujuh langkah sebagaimana yang diajarkan dalam orde-orde sufi era klasik dan abad pertengahan.[14]
Sufisme Said Nursi menempatkan iman sebagai landasan utama dan pertama yang harus diperbaiki dalam menjalani kehidupan di dunia ini, apalagi dalam menghadapi tantangan atheisme dan sekularisme. Menurutnya tujuan pokok dari tasawuf dan tarekat adalah mengetahui hakekat keimanan. Iman inilah yang menjadi titik sentral dalam pandangan Said Nursi. Berangkat dari iman, maka orang bisa mengenal Allah, yang kemudian menuju kepada mencintai Allah. Dan pada akhirnya akan merasakan sebuah kelezatan dan kenikmatan yang tidak ada taranya ketika manusia sampai kepada cinta kepada Allah “mahabbatullah”. Inilah yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Anwar al-hakikat: Mabahis fiTasawuf wa al-Suluk”. Dalam buku tersebut ia mengatakan:
“Ketahuilah dengan pasti bahwa tujuan yang paling mulia bagi makhluk dan hasil yang paling mulia bagi fitrah manusia adalah iman kepada Allah. Ketahuilah juga bahwa derajat yang paling tinggi bagi manusia dan tempat yang paling mulia bagi manusia adalah ma’rifatullah/pengenalan terhadap Allah, yang diperoleh dengan melalui Iman. Ketahuilah bahwa kebahagiaan yang paling tinggi bagi manusia dan jin, kenikmatan yang paling manis yaitu mahabbatullah/cinta kepada Allah yang diperoleh melalui ma’rifatullah. Dan ketahuilah bahwa kesenangan yang paling suci bagi jiwa dan hati manusia adalah allazatul ruhiyyah (kenikmatan spiritual) yang memancar dari mahabbatullah”.
Konsep tasawuf dari Said Nursi terdiri dari empat fase. Fase ini berangkat dari iman, dengan iman manusia dapat mengenal Allah/ma’rifatullah, dari ma’rifarullah manusia mendapatkan mahabbatullah dan kemudian akan mencapai allazzat al ruhiyyah.
1.    Hakekat Iman
Menurut Said, persoalan iman merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan di dunia ini. Bahkan lebih penting dari tasawuf itu sendiri. Menurutnya manusia tidak pernah masuk surga tanpa iman, sementara banyak orang yang masuk surga bukan karena tasawuf. Dalam hal ini Said menggambarkan keduanya dengan mengatakan bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa roti (makanan pokok), sementara manusia bisa hidup tanpa buah-buahan (makanan tambahan). Makanan pokok itu adalah iman, sementara buah-buahan itu adalah tasawuf dan tarekat. Konsep keimanan bagi Said Nursi berangkat dan sejalan dengan konsep yang dipahami oleh Imam al-Rabbany.

2.    Ma’rifatullah
Dari pengkajian tentang isi al Qur’an, Said Nursi mendapatkan sebuah kata kunci untuk mendekati dan mengenal Allah, yaitu dengan jalan kerendahan. Untuk menjadikan manusia bisa merendahkan diri di hadapan Allah, maka ditempuhlah beberapa cara untuk sampai kepadaNya dan menuju tingkat kesucian. Cara tersebut dinamakan dengan al khututwat al ar’ba’ah (empat langkah), yaitu dengan al-a’jz (menampakkan kelemahan), al-faqr (ketiadaan/kemiskinan), al syaqafah (rasa kasih sayang), dan al-tafakkur (bertafakur)
3.    Mahabbatullah
Konsep tasawuf menurut Said selanjutnya adalah mahabbatullah. Menurutnya orang-orang yang mengenal Allah nantinya akan mendapatkan mahabbatullah. Pada konsep ini mereka tidak lagi menghiraukan apapun yang terjadi. Merekan telah membentengi dirinya dari berbagai macam godaan dan gangguan, termasuk tipu daya syaitan. Perasaan cinta kepada Allah tidak goyah lagi.

4.    Al Lazzah al-Ruhiyah (Kenikmatan Rohani)
Fase ini adalah fase yang akan diperoleh oleh seorang hamba setelah ia mempunyai hakekat iman yang menghasilkan ma’rifatullah dan menghasikan mahabbatullah. Dengan demikian, jika seseorang mengenal Allah dengan pengenalan yang benar dan hatinya telah dipenuhi dengan cahaya cintanya, maka ia akan menjadi pemilik kebahagiaan yang tidak ada batasnya dan nimat yang tidak ada habisnya baik sekarang maupun yang akan datang.[15]

F.        Said Nursi dan Risalah An Nur
Secara umum periode kehidupan Said Nursi terbagi menjadi tiga bagian, yakni Said Lama yang merupakan periode panjang kehidupan Said Nursi yang bergumul dan terlibat langsung dengan pergerakan-pergerakan politik dalam pemerintahan Turki Utsmani. Periode kedua adalah Said Baru yang merupakan periode yang penuh dengan perenungan intelektual tentang nasib umat Islam yang berhadapan dengan ideologi-ideologi modern dengan usaha-usaha abrasi keimanan yang sistematis. Periode kedua kehidupan Said Nursi ini, disebut sebagai Said al-Jadid, Nursi secara utuh melepaskan dirinya dari dunia perpolitikan dengan sebuah ungkapan terkenal yang ia lontarkan: A’udzu billahi min asy-Syaithani wa min as-Siyasah (Aku berlindung kepada Allah dari setan dan dari politik). Sedangkan periode ketiga adalah Said al-Tsalits, yakni periode Said Nursi yang seluruh hidupnya diserahkan kepada pembinaan umat Islam dengan mengajarkan ilmu al-Qur’an kepada masyarakat tentang pentingnya iman bagi tegaknya kedamaian abadi dunia dan akhirat
Said Lama adalah Said yang berpolitik praktis dengan menerjunkan diri dalam pancaroba kultur Turki. Aktivitasnya dalam politik dimulai dengan sokongan terhadap gerakan Pan-Islam-nya al-Afgani, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan organisasi politik Ittihad-i Muhamedi. Karier politiknya berhenti ketika dia selalu berhadapan dengan kepentingan-kepentingan politis yang sebagian besar, baginya, mengingkari ajaran al-Qur’an. Fenomena-fenomena kawan dan lawan dalam politik, bagi Nursi, semuanya jauh dari akhlak Qur’ani, terlebih ketika isu sekulerisme dan komunisme berkembang di Turki yang sarat dengan kepentingan yang pragmatis. Atas dasar itu dia menarik diri dari dunia politik. Inilah masa peralihan dari Said Lama kepada Said Baru.
Said baru adalah said yang bergerak menggerakkan pedang yang tidak tampak, yaitu pedang kemukjizatan al Qur’an. Said baru adalah Said yang perhatian utamanya adalah menanamkan al Qur’an pada setiap jiwa dan generasi dan menjadikannya sebagai cara melawan kelaliman rezim sekuler. Said baru adalah Said yang karena kepentingan al Qur’an maka ia menjauhi segala kepentingan yang bersifat fana dan duniawi, termasuk kepentingan ekonomi, juga kepentingan politik. Said Baru merupakan masa pengabdiannya pada al-Qur’an dengan menafsirkannya kemudian menyebarkan dalam bentuk risalah-risalah. Seluruh isi interpretasinya terhadap al-Qur’an merupakan respon langsung atas berkembangnya pola pikir yang materialistis, positivistis dan bahkan ateistis.
Satu-satunya politik Said baru adalah melawan segala bentuk usaha menjauhkan umat dari al Qur’an dan Islam, dengan cara berdakwah mendekatkan umat dengan al Qur’an secara kultural, mengajak umat merasakan kelezatan hidangan al Qur’an. Mengokohkan kembali bangunan keimanan umat dengan ajaran-ajaran al Qur’an. Menjadikan al Qur’an cahaya yang menerangi pikiran, jiwa, hati, dan jasad umat. Itulah inti semua tulisan Said Nursi dalam Risalah Nur.
Seiring perjalanan waktu, Said Baru membaca kitab futuh al-Gaib karya Abdul Qadir al-Jilani. Saat itu juga ia menjadi sadar bahwa dirinya mempunyai penyakit-penyakit ruhani yang sangat parah padahal ia diharapkan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit ruhani umat Islam. Selanjutnya ia juga membaca kitab Maktubat, karya Imam Rabbani yang menjadikan dirinya semakin mantap untuk beruzlah. Terlebih lagi, saat Daulat Turki Usmani secara beruntun dilanda beragam musibah hingga Inggris berhasil menduduki Istanbul (pada 16 Maret 1920 M.) yang semakin leluasa menerapkan doktrin-doktrin dunia Barat yang bercorak materialistik.
Nursi merasa tikaman demi tikaman yang dihujatkan kepada dunia Islam terasa seolah diarahkan ke lubuk hatinya. Dalam kondisi demikian, tekad nursi beruzlah untuk menyusun karyanya Risalah An-Nur, tidak bisa diganggu gugat lagi. Ia menetapkan diri untuk beruzlah ke salah satu daerah Turki, yaitu Shari Yar, Bosfur.[16] Bahkan ketika tahun 1922 M. Mustafa Kemal menawari dirinya jabatan sebagai penasihat umum seluruh wilayah timur Turki dengan memberinya sebuah vila besar termasuk dengan berbagai fasilitasnya, dan gaji yang menggiurkan sebesar 300 lira, agar ia menjadi salah satu orang dekatnya, Nursi menolak tawaran itu.[17]
Ketika uzlahnya inilah, Nursi yang hanya berdialog dengan Al-Quran semata tanpa merujuk kepada kitab apa pun, lebih terfokus dalam menuangkan ide-idenya secara inspiratif dalam usahanya membendung paham materialisme yang sudah menjangkit sebagian besar masyarakat Turki. Sejak itu Nursi terfokus dalam aktivitas inqadz al-iman (menyelamatkan keimanan) di Turki.
Uzlah itu juga terdorong karena Nursi menyaksikan bagaimana sistem sekularisme yang diterapkan oleh penguasa dengan mensosialisasikan doktrin-doktrin materialisme ke seluruh masyarakat Turki hingga nyaris melumpuhkan keyakinan mereka. Sehingga Nursi menempuh langkah tersebut setelah ia yakin bahwa memfokuskan diri sebagai pelayan Islam tidak mungkin dapat diwujudkan melalui perjuangan politik dengan segala intrik dan pertentangannya, terutama setelah sekolah-sekolah agama dibubarkan dan beratus masjid Jami’ diubah menjadi gudang, atau pusat hiburan, atau gelanggang remaja. Karenanya Nursi pun mengubah aktivitas politiknya dan mengalihkan perhatiannya pada aspek keimanan dan masalah-masalah akidah.
Kendati demikian, era kehidupan Nursi yang baru ini pun tidak sepi dari teror penguasa. Dengan tuduhan terlibat dalam revolusi terhadap pemerintahan Mustafa Kemal, Nursi ditangkap dan dibuang ke Barla, sebuah desa berbukit di barat daya Turki pada tahun 1926 M. Di sana ia menjalani kehidupan yang sulit dan terpisah hampir dari setiap orang. Tetapi ia berhasil mendapatkan hiburan, pelipur sejati, dengan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Besar dan lewat penyerahan diri seutuhnya kepada-Nya. Bagian-bagian pokok dari Risalah an-Nur, The Words (Kumpulan Kata) dan The Letters (Kumpulan Surat), ditulisnya di Barla kala ia dalam kondisi sulit.
Nursi berkenalan dengan seorang warga desa Barla yang bernama Sulaiman yang akhirnya menjadi murid setia yang mengabdi kepadanya selama delapan tahun. Inilah awal hubungan antara Nursi dengan warga penduduk Barla. Sejak itu satu per satu orang-orang berdatangan untuk berguru kepadanya dan Nursi mulai menyebarkan Risalah an-Nur secara sembunyi-sembunyi. Halakah pengajiannya tumbuh dan berkembang. Sementara itu, para muridnya pun aktif mempelajari Risalah an-Nur dan menyalin serta menyebarluaskannya ke seluruh penjuru Turki. Demi misi ini, mereka dengan hati yang mantap rela ditangkap, diasingkan, bahkan walau sampai disiksa.
Salinan karya-karya Risalah an-Nur saat itu masih ditulis dengan tangan dan mulai menyebar ke seantero Turki. Inilah awal mula pergerakan Risalah an-Nur. Ternyata metode perjuangan Islam ini mengundang reaksi dan kebencian pemerintah. Dengan tuduhan membangun rahasia dan melawan pemerintah, Nursi dituntut hukuman mati dan seratus dua puluh santrinya diadili di Pengadilan Pidana Eskisehir pada tahun 1935. Nursi ditahan selama sebelas bulan di penjara sebelum akhirnya diputus tidak bersalah. Menariknya, justru kebanyakan karya Nursi Risalah an-Nur sebagian besar ditulis pada masa-masa ia berada di dalam penjara.
Nursi juga menulis risalah-risalah al-Iqtishad, al-Ikhlash, al-Hijab, al-Isyarat ats-Tsalatsah, al-Mardha, asy-Syuyukh, serta risalah keduapuluh delapan, kedua puluh sembilan, dan tiga puluh yang terkompilasi dalam kitab al-Lama’at dalam tahanan tahun 1935. Setelah dibebaskan dari pengadilan Eskisehir, ia diasingkan kembali ke kota Kastamonu. Selama dalam tahanan Kastamonu, Nursi banyak menulis Risalahnya yang terkodifikasi dalam The Rays. Tercatat ia menulis Sinar pertama dan kedua sampai selesai, dan dilanjutkan Sinar ketiga sampai kesembilan yang di dalamnya menjelaskan tanda tertinggi. Sebagian besar Risalah yang tertuang dalam Lama’at dirampungkan pula selama dalam masa tawanan tersebut.
Selama masa ini, baik Nursi maupun murid-muridnya terus-menerus mendapatkan tekanan dari penguasa. Tekanan tersebut kian lama kian meningkat, dan berpuncak dengan penangkapan besar-besaran hingga pengadilan dan pemenjaraan di Denizli pada tahun 1943-1944. Nursi dikurung selama sembilan bulan dalam sebuah sel yang kecil sekali, gelap, dan pengap dengan kondisi yang sangat menyedihkan. Dalam penjara ini Nursi hanya bisa menyebarkan Risalahnya secara sembunyi-sembunyi melalui selah kecil dari jendela kepada para murid-muridnya karena ia dilarang untuk berhubungan secara terbuka.
Setelah dibebaskan, Nursi diasingkan ke Emirdag, salah sebuah daerah di wilayah Afyon. Pada tahun 1948 sebuah perkara baru dibuka di Pengadilan Pidana Afyon. Pengadilan memvonis Nursi dengan semena-mena, tetapi vonis tersebut dibatalkan melalui banding sehingga Nursi beserta murid-muridnya dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan pada bulan September 1949. Pada tahun yang sama, Risalah an-Nur tersebar dari pelosok desa sampai pusat kota Turki setelah pengadilan di berbagai daerah mengizinkannya untuk diterbitkan dengan tidak lagi secara manual.[18]


BAB III
PENUTUP

Bediuzzaman Said Nursi dilahirkan menjelang fajar musim semi di Nurs, sebuah desa kecil di propinsi Bitlis wilayah Turki Timur pada 1293 H/1877 M dan meninggal pada 20 Maret 1960 di Sanhurfa.  Keluarganya adalah suku Kurdi, ayahnya bernama Mizan, ia adalah seorang sufi dari Ordo Naqsyabandi dan ibunya bernama Nuriye (Nuriyyah) berasal dari Bilkin. Mereka mempunyai tujuh orang anak yaitu Durriyah Hanim, Alimah Hanim, Abdullah, Said, Muhammad, Abdul Majid dan Marjan. Semasa muda sekitar usia sembilan tahun, Sadi Nursi mulai belajar al Qur’an dengan kakaknya, Abdullah.
Karya-karya pemikiran Said Nursi yang telah beliau curahkan diantaranya adalah Isharat al I’jaz, Qazil I’jaz fi Mantiq, al Sanuhat serta makalah-makalahnya seperti Rumuz, Isharat, Tulu’at, Lama’at, Shafa’at, Min Ma’rifah al Nabi SAW, Nuqtah min Ma’rifat Allah Jall Jalaluh, the Words (kumpulan kata), The Letters (kumpulan surat), al Hijab, al Shuyukh, dan Risale-i Nur.
Konsep tasawuf dari Said Nursi terdiri dari empat fase. Fase ini berangkat dari iman, dengan iman manusia dapat mengenal Allah/ma’rifatullah, dari ma’rifarullah manusia mendapatkan mahabbatullah dan kemudian akan mencapai allazzat al ruhiyyah.



















DAFTAR PUSTAKA

Hamza, Biografi Bediuzzaman Said Nursi (Transformasi Dinasti Usmani menjadi Republik Turki), Jakarta: Anatolia Prenada Group, 2007.
Mustamin, Kamaruddin, Dimensi Tasawuf Said Nursi, Al Fikr, 2011.
Nursi, Said, Mi’raj Menembus Konstelasi Langit, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta: Prenada Media, 2003.
  , Risalah al-Nur: Sinar yang Mengungkap Sanc Cahaya, terj. Sugeng Hariyanto dkk, Jakarta: Grafindo Persada, 2003.
Salih, Ihsan Kasim, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama dari Dogmatisme dan Sekularisme), Jakarta: Murai Kencana, 2003.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Mizan: Bandung, 2006.
Shirazy, Habiburrahman El, Api Tauhid Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid, Jakarta: Republika, 2014.
Sulaiman, Wan Jeffree Wan, Mujaddid Islam Sheikh Bediuzzaman Said Nursi, Ankara: Ihlas Nur Nesriyat, 1987.
Zaidin, Mohamed, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan Pemikiran, Selangor: Malita Jaya, 2001.
Zaprulkhan, Disertasi Komparasi Pembaharuan Tasawuf Hamka dan Said Nursi, Yogyakarta, 2011.




[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan: Bandung, 2006, 16.
[2] Said Nursi, Mi’raj Menembus Konstelasi Langit, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta: Prenada Media, 2003, vii-viii.
[3] Wan Jeffree Wan Sulaiman, Mujaddid Islam Sheikh Bediuzzaman Said Nursi, Ankara: Ihlas Nur Nesriyat, 1987, 5.
[4] Mohamed Zaidin, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan Pemikiran, Selangor: Malita Jaya, 2001, 119.
[5] Habiburrahman El Shirazy, Api Tauhid Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid, Jakarta: Republika, 2014, xxiv
[6] Ihsan Kasim Salih, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama dari Dogmatisme dan Sekularisme), Jakarta: Murai Kencana, 2003, 9.
[7] Habiburrahman El Shirazy, Api Tauhid Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid..., xxiv.
[8]Hamza, Biografi Bediuzzaman Said Nursi (Transformasi Dinasti Usmani menjadi Republik Turki), Jakarta: Anatolia Prenada Group, 2007, 11.
[9] Ihsan Kasim Salih, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama dari Dogmatisme dan Sekularisme)..., 11-12.
[10] Habiburrahman El Shirazy, Api Tauhid Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid..., xxv-xxviii.
[11]Said Nursi, Risalah al-Nur: Sinar yang Mengungkap Sanc Cahaya, terj. Sugeng Hariyanto dkk, Jakarta: Grafindo Persada, 2003, XXI.
[12] Ihsan Kasim Salih, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama dari Dogmatisme dan Sekularisme)..., 130
[13] Kamaruddin Mustamin, Dimensi Tasawuf Said Nursi, Al Fikr, 2011, 515
[14] Zaprulkhan, Disertasi Komparasi Pembaharuan Tasawuf Hamka dan Said Nursi, Yogyakarta, 2011, 120-125.
[15] Kamaruddin Mustamin, Dimensi Tasawuf Said Nursi, Al Fikr, 2011, 515-519
[16] Zaprulkhan, Disertasi Komparasi Pembaharuan Tasawuf Hamka dan Said Nursi..., 99-101
[17] Habiburrahman es Shirazy, Api Tauhid...,
[18] Zaprulkhan, Disertasi Komparasi Pembaharuan Tasawuf Hamka dan Said Nursi..., 100-105

No comments:

Post a Comment