PEMIKIRAN SAID NURSI
(Tentang Al Qur’an dan Tasawuf)
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Al Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diyakini secara konsensus (ijma’)
otentisitas dan orisinalitasnya sebagai hudan li al-nas dan rahmatan
li al-alamin. Sebagai kitab suci yang memiliki
posisi sangat penting bagi kehidupan manusia dan yang relevan bagi setiap ruang
dan waktu ia senantiasa ditafsirkan.[1] Al-Qur’an
merupakan ide-ide yang universal yang berlaku sepanjang masa dimanapun al-Qur’an
diaplikasikan. Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana al-Qur’an yang
mengusung ide-ide universal itu merespon perkembangan zaman yang tentunya
berbeda secara kultur ketika dia diturunkan. Persoalan ini mendorong para
sarjana untuk menginterpretasikan dan menerjemahkan ide universal itu ke dalam
bahasa yang difahami oleh manusia yang hidup pada zamannya. Munculnya
kitab-kitab tafsir sejak abad awal perkembangan Islam sampai sekarang merupakan
indikasi ke arah itu. Problem yang paling dirasakan kemudian adalah otoritas
sang penafsir atas interpretasinya terhadap al Qur’an, sampai dimana keabsahan
interpretasinya diakui sebagai sesuatu yang mencerminkan ide dasar al-Qur’an.
Hal ini terkadang melahirkan penilaian yang berbeda bahkan klaim-klaim yang
miring terhadap hasil interpretasi seseorang karena berbeda paradigma dan
kepentingan.
Jeram-jeram studi terhadap al Qur’an model penafsiran yang
didasarkan pada bagaimana kondisi sang penafsir. Peran sang penafsir yang
selalu dilungkupi oleh kultur yang berbeda satu sama lain, dan selalu
berkembang dari zaman ke zaman secara pasti akan melahirkan pola pemikiran yang
berbeda. Konsekuensinya adalah intrepretasi terhadap teks suci itu juga
berbeda. Dari sinilah corak-corak tafsir muncul yang berjalan seiring dengan
kecenderungan sang penafsir. Dari perspretif inilah tokoh menjadi parameter
atau tafsirannya.
Berkaitan dengan hal ini, bagaimana al-Qur’an yang ada di masa
pergolakan antara ideologi-ideologi besar seperti imperialisme dan komunisme
ditafsirkan. Kecenderungan tafsir pada masa-masa sebelum abad XX tergantung
pemenuhan “kepentingan” umat Islam yang sifatnya internal, dalam arti kata
penafsiran al-Qur’an “hanya” untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan “rumah tangga”
Islam dan belum menyentuh kepentingan di luar “rumah tangga” Islam seperti balancing
terhadap kekuatan ideologis, baik kapitalisme ataupun komunisme, pergolakan
dan revolusi terhadap tatanan yang mapan dan menghegemoni, dan lain sebagainya.
Pada umumnya corak tafsir al-Qur’an berkisar pada akidah, hukum, filsafat dan
tasawuf dengan saling mengkritik antar mufasir yang berbeda paradigma,
sedangkan interpretasi yang bernuansa kritik terhadap paradigma yang melemahkan
sendi Islam belum banyak dilakukan. Padahal diskursus tentang persoalan ini
sangat in ketika al Qur’an bersentuhan dengan kultur abad XX.
Bediuzzaman Said Nursi adalah salah satu tokoh di antara ratusan
tokoh yang mencoba merumuskan gagasan-gagasan “Qur’ani” untuk merespon
perkembangan zaman yang sedemikian rupa yang terjadi pada akhir abad XIX dan
awal abad XX. Beliau hidup ketika dunia Islam baik politik maupun intelektual,
dihantam badai peradaban Eropa yang dalam beberapa hal dipandang bertentangan
dengan spirit universalitas ide al-Qur’an. Oleh karena itu, dia menulis risalah
yang berisi tentang kupasan terhadap kandungan al-Qur’an dengan semangat abad
XX yang dikenal dengan Risalah An-Nur.
Bediuzzaman Said Nursi bukan seorang penulis dalam arti biasanya.
Beliau menulis karya indahnya Risalah An Nur, kumpulan karya setebal 5000
halaman karena beliau mempunyai misi: beliau berjuang melawan kecenderungan
pikiran ke arah materialisme dan ateisme yang dijejalkan oleh sains dan
filsafat dan beliau berusaha menyajikan kebenaran Islam kepada pikiran dan hati
modern dalam berbagai tingkat pemahamman. Risalah An Nur, tafsir modern al
Qur’an, pada garis besarnya membahas masalah eksistensi dan ketunggalan Allah,
hari kebangkitan, kenabian, kitab suci, terutama al Qur’an, eksistensi alam
ghaib, takdir Ilahi dan ikhtiar manusia, ibadah, keadilan dalam hidup manusia,
dan posisi serta kewajiban manusia di antara makhluk-makhluk lain.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Said
Nursi
Bediuzzaman Said Nursi dilahirkan
menjelang fajar musim semi di Nurs, sebuah desa kecil di propinsi Bitlis
wilayah Turki Timur pada 1293 H/1877 M.
Keluarganya adalah suku Kurdi, ayahnya bernama Mizan, ia adalah seorang
sufi dari Ordo Naqsyabandi dan ibunya bernama Nuriye (Nuriyyah) berasal dari
Bilkin. Mereka mempunyai tujuh orang anak yaitu Durriyah Hanim, Alimah Hanim,
Abdullah, Said, Muhammad, Abdul Majid dan Marjan.[3]
Nenek moyang Nursi berasal dari Isbartah (Isparta), mereka berasal dari
keturunan ahl al-bayt. Mirza adalah keturunan Hasan bin Ali dan Nuriyyah
keturunan dari Husein bin Ali.[4]
Dikalangan masyarakat luas, Mirza
dikenal sebagai seorang yang Sufi karena sifat wira’inya. Sejak masih belia,
Mirza telah diajarkan untuk menjaga diri dari barang yangharam. Bahkan
lembu-lembunya tidak ia izinkan makan rumput yang tidak jelas kehalalannya.
Mirza juga menghiasi nafasnya dengan dzikir kepada Allah. Sedangkan Nuriye yang
hafal al Qur’an selalu menjaga dirinya
dalam keadaan berwudhu. Saat mengandung anak-anaknya, termasuk ketika
mengandung Said, Nuriye tidak menginjakkan kakinya ke atas bumi kecuali dalam
keadaan suci, dan tidak meninggalkan shhalat malam, kecuali saat udzur. Nuriye
tidak mengizinkan dirinya menyusui anak-anaknya, terutama Said dalam keadaan
tidak suci. Said menjadi semacam ayat bahwa kesucian cinta karena Allah akan
melahirkan keberkahan dan keajaiban yang tidak pernah disangka-sangka.[5]
Said Nursi di usia kecil sudah
memperlihatkan tanda-tanda seorang yang jenius. Hal ini seperti terlihat dalam
kebiasaan beliau banyak bertanya dan gemar menelaah masalah-masalah yang belum
dimengertinya. Ia juga suka membuat pertanyaan-pertanyaan yang ilmiah dalam
benaknya. Selain itu, Said Nursi juga gemar menghadiri forum pendidikan yang
diselenggarakan untuk orang-orang dewasa dan menyimak diskusi-diskusi tentang
berbagai kajian, khususnya majelis ilmiah yang dihadiri oleh para ulama
setempat dirumah ayahnya. Selain itu ia juga terkenal anak yang pandai memelihara
haarga diri dari perbuatan zalim. Sifat dan sikap tersebut terus melekat dan
bertambah kuat dalam kepribadiannya.[6]
Said Nursi hidup pada zaman
kekhalifahan Turki Usmani pada masa kekuasaan sultan Hamid II hingga Turki
Modern yang dipimpim oleh Mustafa Kemal Attaruk. Beliau meninggal pada 20 Maret
1960 di Sanhurfa. Pada masa ini, muncul tokoh-tokoh besar umat Islam dengan
karakter dan strategi perjuangannya masing-masing dalam menegakkan kalimat
Allah. Seperti di India dan Pakistan muncul Maulana Muhammad Ilyas
Al-Kandahlawy (1886-1948) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948). Di Libya muncul
Syeikh Omar Mukhtar (1858-1931) yang mendapat julukan The Lion of Desert from
Libya. Di Mesir muncul Syeikh Mustafa Al-Maraghi (1881-1945) dan Syeikh Hasan
Al-Banna (1906-1949). Di Pelestina muncul syeikh Muhammad Amin Al-Husaini
(1895-1974), mufti besar Palestina yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Di
Aljazair muncul syeikh Abdul Hamid bin Badis atau dikenal Ibnu Badis
(1889-1940). Dan di Indinesia tidak kalah dengan dunia Islam lainnya, hadir
tokoh Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari (1875-1947), mbah Wahab Hasbullah
(1888-1971) dan kyai haji Ahmad Dahlan (1868-1928).[7]
B.
Riwayat
Pendidikan Said Nursi
Semasa muda sekitar usia sembilan
tahun, Sadi Nursi mulai belajar al Qur’an dengan kakaknya, Abdullah. Untuk
meningkatkan dan mengembangkan ilmu, pertama kalinya mereka pergi ke madrasah
Muhammad Afandi di desa Tag dekat Isparta. Pemilik madrasah tersebut syeikh
Abdurrahman Tagi sangat menyayangi murid-muridnya yang dari Nurs. Ia pernah
berkata bahwa salah satu dari muridnya kelak menjadikan Islam bangkit kembali.
Namun Said Nursi tidak lama di madrasah tersebut. Pada tahun 1888, dengan penuh
semangat beliau pergi ke sekolah syeikh Emin Efendi di Bitlis. Tetapi Syeikh
Emin pada saat itu sedang sakit, tidak bisa mengajar dan menyuruh murid yang
lain untuk menggantikannya. Hal tersebut ditolak oleh Said Nursi, akhirnya ia
pendah ke madrasah Mil Hasan Wali di Mukus yang saat itu Abdel Kerim menjadi
kepala sekolahnya. Namun, disana ia hanya bertahan beberapa hari dan kemudian
pergi ke Vaston dekat Van. Setelah satu bulan disana, ia bersama temannya
Muhammad pergi menuju Bayazid. Disinilah Said Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama
dasar sebelumnya ia telah mempelajari buku-buku tata bahasa dan sintaksis Arab.[8] Di
sekolah tersebut ia mendapat bimbingan dari syeikh Muhammad Jalali. Said Nursi
memperlihatkan kesungguhannya dengan mempelajari dan membaca buku yang tebalnya
sekitar dua ratus halaman lebih setiap harinya meskipun terkadang bahasanya
sulit dimengerti.semula itu pula ia terputus dengan dunia luar karena
keinginannya untuk fokus mempelajari ilmu agama.
Setelah tiga bulan berlalu, ia
mendapat ijazah diploma dari syeikh Muhammad Jalali. Sekitar tahun 1889 ia
berangkat ke Bitlis untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh Muhammad
Amin. Selanjutnya dari kota itu ia melanjutkan ke Siirt untuk menemui seorang
ulama’ yang terkenal bernama Fethulllah Efendi. Ia menguji Said Nursi dengan
menanyakan mengenai kitab yang berjudul al Jami’. Said Nursi dapat mengingat
dan menguasai dengan baik kitab tersebut. Selain itu Fethulllah Efendi juga
menguji buku lain yang berjudul al Maqamat al Haririyah kepada Said Nursi. Ia
menghafal satu halaman kemudian mengulanginya tanpa membaca. Hal tersebut
membuat Fethulllah Efendi kagum. Atas prestasinya ia memberikan sebutan
Bediuzzaman bagi Said Nursi yang berarti Keajaiban Zaman. Ketika Said Nursi
disana, ia juga memanfaatkan waktunya untuk menghafalkan buku yang berjudul Jam’ul
Jawami (kitab mengenai ilmu fikih) karya Ibn As-Subki selama sehari selama
seminggu.[9]
C.
Karir dan
Kiprah Said Nursi di Masyarakat
Pada masa-masa awal Said Nursi muda
memperlihatkan kehebatannya dengan menguasai berbagai macam ilmu. Bahkan pada
umurnya yang menginjak 15 tahun sudah hafal puluhan kitab referensi yang
penting dan banyak mengalahkan ilmu yang dimiliki ulama-ulama yang lebih
senior. Ada kegelisahan dalam dirinya bahwa pendidikan saat itu kurang tepat,
karena lebih mengandalkan ilmu-ilmu umum yang lebih sekuler. Itu diakibatkan
oleh silaunya pengambilan kebijakan akan budaya Eropa ketika itu.
Pada tahun 1910-an, Badiuzzaman Said
Nursi mengusulkan sistem pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum secara dikotomis, tetapi seharusnya ilmu agama
diajarkan pada sekolah-sekolah umum. Demikian pula sebaliknya, pada
sekolah-sekolah umum juga dipelajari ilmu-ilmu agama, tidak hanya itu, bahkan
pendidikan juga harus menyentuh penyucia jiwa dan kehalusan budi (sufisme).
Beliau ingin membangun medresetuz zahra yang menggabungkan tiga hal,
yaitu sekolah modern yang mengajarkan ilmu-ilmu modern, madrasah yang
mengajarkan ilmu syariah, dan zawiyah para sufi yang membina penyucian
jiwa dan kehalusan adab. Dalam filsafat ilmu Bediuzzaman ingin menegaskan
pentingnya ontologi, epistemologi dan aksiologi. Atas ide-idenya itu dia sering
berhadapan dengan para penguasa dan mulai dikucilkan bahkan dipenjarakan.
Pada masa sulta Abdul Hamid II, Said
Nursi berjuang mati-matian agar penguasa membuat kebijakan menerapkan pendidikan
yang integral itu. sayang, lingkaran birokrasi tidak mengizinkan Said Nursi
bertemu langsung dengan sang Sultan. Ketika itu sang Sultan meneruskan
kebijakan pendidikan yang menitikberatkan pada pendidikan modern yang berkiblat
pada Eropa. Dari pendidikan modern itu, lahirlah Young Turk Movement.
Mereka itu yang mengotaki pelengseran sang Sultan, bahkan pembubaran khilafah
Utsmaniah pada 3 Maret 1924 dan menghapusnya dari muka bumi. Kemudian Turki
dipimpim oleh Mustafa Kemal Attaruk yang berpaham sekuler.
Sejak dikukung kekuasan tiran
Mustafa Kemal yang ekstrem-sekuler, Turki mengalami masa-masa gelap gulita yang
pekat. Simbol-simbol agama dilarang, masjid-masjid banyak ditutup, kantor
Syaikhul Islam di Istanbul dijadikan gedung dansa, adzan memakai bahasa Arab
dilarang, zawiyah-zawiyah sufi ditutup, madrasah-madrasah dilarang
mengajarkan al Qur’an. Huruf dan angka hijaiyyah dilarang digunakan, diganti
dengan latin. Mustafa Kemal ingin menghapus semua jejak Islam dengan harapan
dapat diterima oleh bangsa-bangsa Eropa.[10]
D.
Karya Said
Nursi
Karya-karya pemikiran Said Nursi
yang telah beliau curahkan diantaranya adalah Isharat al I’jaz, Qazil I’jaz
fi Mantiq, al Sanuhat serta makalah-makalahnya seperti Rumuz, Isharat,
Tulu’at, Lama’at, Shafa’at, Min Ma’rifah al Nabi SAW, Nuqtah min Ma’rifat Allah
Jall Jalaluh, the Words (kumpulan kata), The Letters (kumpulan
surat), al Hijab, dan al Shuyukh.[11]
Selain itu karya yang sangat terkanal sampai sekarang yang ia tulis saat
pengasingan berupa Risalah An Nur. Dalam penulisan Risalah an Nur, Said Nursi
tidak menggunakan sumber-sumber lain kecuali al Qur’an al Karim, dia meminta
petunjuk dan ilham dari ayat-ayat yang mulia itu. Ia hidup dalam suasana hati
dan jiwa yang tulus mendalami ayat-ayat tersebut.[12]
Diantara koleksi Risale-i Nur yang
telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Menjawab yang Tak Terjawab,
Menjelaskan yang Tak Terjelaskan. Buku ini memuat tentang kehidupan, rahmat
dalam kematian dan kemalangan, Asma Allah, Mukjizat Rasulullah, makna mimpi,
hikah penciptaan syetan, mengapa harus ada mukjizat dan lain sebagainya.
2.
Sinar Yang Mengungkap Sang Cahaya :
Epitomes of Light, berisi tentang tafsir kalimat Laa Ilaha Illallah yang
menjadikan segala sesuatu yang ada dijagad ini bagaikan rangkaian
keping-kepingan bermakna yang memantulkan keEsaan Allah.
3.
Menikmati Takdir Langit: Lama’at.
Buku ini mengandung 33 Cahaya, membahas peristiwa yang menimpa Nabi Allah SWT,
mengenai kemukjizatan Rasulullah, keutamaan munajat (doa), tentang kabar ghaib
dari ayat al Qur’an, Minhaj as-Sunnah, Ma’rifat terhadap Allah dan Rasulullah,
pembahasan tentang akhlak.
4.
Alegori Kebenaran Ilahi, buki ini
memuat tentang eksistensi dan ketunggalan Tuhan, hari kiamat, kitab suci,
kerasulan takdir Ilahi dan keadilan dalam hidup manusia, dan posisi serta
kewajiban manusia diantara makhluk-makhluk lainnya.
5.
Dari Bilik Lembaran Suci, buku ini
berisi tentang hikmah wahyu dan pemikiran manusia, al Qur’an: kefasihan dan
ilmu pengetahuan, dan AlQur’an yang menakjubkan.
6.
Episode Mistis Kehidupan Rasulullah,
berisi pembahasan mengenai al Qur’an sebagai mukjizat rasulullah dan beberapa
jenis mukjizat lainnya.
7.
Mi’raj Menembus Konstelasi Langit,
memaparkan mengenai hakikat dan hikmah mi’raj Rasulullah SAW.
8.
Dimensi Abadi Kehidupan, mengupas tentang
hari kebangkitan dan akhirat.
9.
Dari Cermin KeEsaan Allah, mengulas
lebih banyak tentang manifestasi keEsaan Allah pada alam semesta dan manusia.
10.
Misteri Kebangkitan dan Kehidupan
Setelah Mati, berisi tentang kebangkitan dan kehiduan setelah mati,jawaban-jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang surga, hari kiamat, kehancuran dunia dan
kehidupan setelah mati.
E.
Dimensi Tasawuf
Said Nursi
Salah satu mutiara rohani yang
muncul di tengah-tengan arus ateisme dan sekularisme adalah Said Nursi. Sadi Nursi
sang Badiuzzaman merupakan seorang pejuang, pemikir dan sufi besar abad 20. Ia
seorang tokoh spiritual yang sangat berpengaruh dan guru yang dianggap sebagai
pemelihara serta pengawal spirit moralitas keislaman di Turki meskipun dihajar
sekularisme Barat. Pemikiran Said Nursi tentang tasawuf berdasarkan pada
pemahamannya terhadap al Qur’an dan pengalaman, baik berupa pengamatan terhadap
suatu realitas maupun perjalanan spiritualnya sendiri.[13]
Atmosfer sufistik pada diri Said
Nursi memang sudah terlihat sejak dini. Saat berumur sebelas tahun, ketika
belajar kepada Syekh Muhammad Celali, Nursi selalu menghabiskan sebagian besar
waktunya terutama pada malam-malam hari di makam seorang wali suku Kurdi dan
penyair, yaitu Syekh Ahmad Hani. Banyak orang mengatakan bahwa Nursi secara
khusus mendapat pancaran berkah spiritual Ahmad Hani. Sejak dini Nursi,
tampaknya ia juga sudah mempunyai hubungan mistis dengan Syekh Abdul Qadir
Al-Jilani. Ia mengisahkan bahwa berulang kali ketika terjebak dalam
persoalan-persoalan yang tak terpecahkan, ia akan memohon bantuan kepada
al-Jilani dengan doa-doanya, dan sang syekh akan membantu Nursi. Akan tetapi
keasyikan Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama mencegah keterlibatan dirinya
dengan tarekat apapun termasuk tarekat Qadiriyah.
Nursi mengakui pula bahwa titik
kulminasi yang mempengaruhi dirinya menjalani kehidupan wira’i dan zahid
adalah Abdul Qadir al-Jilani dan Ahmad Sirhindi atau lebih dikenal dengan Imam
Rabbani. Mengenai al-Jilani, Nursi menemukan nasihat-nasihat spiritualnya
melalui karya besarnya Futuh al-Ghaib. Ketika membaca kitab tersebut,
Nursi menyadari bahwa sekalipun dirinya seorang pembingbing ruhani yang
diharapkan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit ruhani umat Islam, ternyata
Nursi sendiri secara spiritual mengidap penyakit yang lebih parah. Sebuah
kutipan dari Al-Maktubat akan membantu mengilustrasikan pengakuan Nursi:
“Membaca kitab itu (Futuh al-Ghaib) bagaikan
menjalani sebuah operasi besar pada diri jasmaniku. Aku tidak tahan membaca nya
sampai tuntas. Aku hanya membacanya sampai separuh dan mengembalikannya ke rak
buku. Sejenak kemudian, rasa sakit akibat operasi itu menjelma kesenangan
karena aku sembuh. Lalu kulanjutkan membaca kitab dari guru pertamaku itu
sampai akhir dan mendapatkan manfaat besar darinya. Aku selalu mendoakannya dan
mendapat pencerahan spiritual yang berlimpah.”
Sedangkan mengenai Ahmad Sirhindi,
Nursi menelaah salah satu karyanya yaitu Maktubat (Surat-Surat) dengan
niat yang jernih. Melalui kitab tersebut, Imam Rabbani menasihatkan agar Nursi
hanya mengambil satu saja pembimbing untuk menuju istana kebenaran hakiki.
Awalnya Nursi bingung dengan nasihat tersebut. Tetapi lama-kelamaan, ia menyadari
bahwa satu-satunya pembimbing sejati yang harus dijadikan pembina abadinya
adalah Al-Quran.
Faktor-faktor yang menyebabkan Nursi
melakukan pembaruan tasawuf bersifat historis dan kontekstual sesuai dengan
kondisi masyarakat Turki di mana Nursi hidup. Mengenai hal tersebut, setidaknya
ada beberapa faktor yang mengantarkan Nursi menyuarakan pembaruan tasawuf. Pertama,
kegersangan spiritual masyarakat Muslim Turki yang dalam pengamatan Nursi
disebabkan terkontaminasi oleh pelbagai penyimpangan dalam ajaran-ajaran Islam.
Mayoritas masyarakat Muslim Turki pada era Nursi hidup sedang mengalami piuncak
krisis keimanan karena runtuhnya tatanan sosial dan perubahan-perubahan sosial
serta politik sebagai konsekuensi dari reformasi yang dikenal sebagai Tanzimat.
Kehampaan spiritual ini berpuncak
pada saat Mustafa Kemal mengambil alih kekuasaan dalam pemerintahan Turki pada
awal abad ke-20. Ketika Mustafa Kemal tampil sebagai pemimpin tertinggi negara,
terjadilah sejumlah perubahan radikal: kekhalifahan ditanggalkan, undang-undang
negara yang berdasarkan syariat Islam diganti dengan undang-undang Swiss;
seluruh penentang langkah yang ditempuhnya disingkirkan, kehidupan model Barat
dipaksakan bahkan diundangkan kepada bangsa Turki; tindakan para penentangnya
divonis sebagai subversi lalu dihukum dengan hukuman yang berat; hurup Arab
diganti dengan hurup Latin, sampai azan pun dikumandangkan dalam bahasa Turki,
dan sejumlah perubahan mendasar lainnya.
Mustafa Kemal menerapkan sekularisme
secara total yang menyebabkan masyarakat Muslim Turki mengalami kegelisahan
spiritual. Nursi membaca kegersangan spiritual tersebut dan berusaha
menyuguhkan jawaban-jawaban solutif yang bernuansa sufistik. Akan tetapi Nursi
menyadari bahwa wacana-wacana sufistik yang harus ia hadirkan bukan tasawuf
lama yang sedikit banyak sudah mengalami penyimpangan dan sudah tidak relevan
bagi kebutuhan zaman kontemporer, melainkan tasawuf baru yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Muslim Turki abad ke-20.
Tasawuf lama yang sudah
terfragmentasi dalam puspa ragam gerakan tarekat, seperti tarekat
Naqsabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah, Maulawiyah, dan lainnya, bagi Nursi
sudah tidak kompatibel lagi untuk menjawab kebangkrutan ruhani masyarakat
Muslim dewasa ini. Dalam pengamatan Nursi, permasalahan yang paling fundamental
bagi mayoritas kaum Muslim, khususnya umat Islam Turki pada abad ke-20 adalah
menyelamatkan keyakinan dan memperkokoh keimanan mereka yang semakin dilanda
krisis karena diterjang oleh gencarnya serangan sekularisme dan materialisme.
Nursi memang mengakui bahwa usahanya
untuk mengokohkan keyakinan kaum Muslim Turki yang sedang mengalami krisis
spiritual menyerupai wejangan-wejangan tasawuf namun melampaui metode-metode
sufisme lama. Jika hakikat keyakinan yang diperoleh dalam tasawuf berdasarkan
amal ibadah, suluk, dan latihan ruhani, melalui Risalah Nur Nursi
berusaha memperkuat keyakinan umat Islam dengan amal ibadah, wirid, dan suluk
yang disertai ilmu pengetahuan bersama dengan dalil-dalil argumentatif yang
bersifat aqliah sehingga bisa ditransfer kepada orang lain dan memberi manfaat
kepada sesama.
Menurut Nursi, kegelisahan sebagian
besar masyarakat Muslim tidak bisa lagi ditanggulangi dengan wacana-wacana
tasawuf lama yang sudah terkotak-kotak dalam pelbagai bentuk tarekat, melainkan
harus dengan rumusan baru agar bisa diterima oleh semua golongan masayarakat
Muslim. Pada titik inilah, Nursi berusaha memaknai tasawuf dengan langsung
menimba lentera kearifannya dari Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai dua sumber
fundamental Islam. Tujuannya tidak lain agar apa yang disuarakan oleh Nursi
dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Muslim yang tengah mengalami
kegelisahan eksistensial, sebuah kedahagaan ontologis.
Melalui pembacaan baru terhadap
tasawuf yang berpedoman secara langsung kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi, dalam
perspektif Nursi akan menghasilkan sebuah jawaban yang lebih bersifat universal
dan inklusivistik, sebab tidak tersekat dalam salah satu aliran sufi tertentu.
Sementara itu tasawuf dengan berbagai kelompok tarekatnya telah membangun
tembok-tembok eksklusifisme melalui hubungan sakral antara seorang guru (mursyid)
dengan para murid-muridnya. Padahal dalam abad 20 yang dibutuhkan mayoritas
masyarakat Muslim adalah persaudaraan di jalan Allah (al-ukhuwah fillah),
yakni sebuah persaudaraan yang dirajut oleh ikatan kecintaan dan keimanan
antara sesama kaum Muslim, bukan persaudaraan yang direnda oleh ikatan darah
antara anak dan orang tua, serta bukan pula hubungan antara mursyid dan murid.
Berdasarkan alasan tersebut, yakni
supaya wacana-wacana tasawuf bisa diterima semua lapisan kaum Muslim yang
tengah mengalami kegelisahan spiritual akibat krisis keimanan, Nursi melakukan
pembacaan baru terhadap tasawuf yang digali langsung dari Al-Quran dan Sunnah
Nabi. Nursi dengan tegas menyatakan bahwa zaman sekarang, yaitu sejak era Nursi
hidup, bukan lagi zaman sufisme atau tarekat sufiyah, melainkan zaman untuk
menyelamatkan keimanan masayarakat Muslim yang tengah dilanda krisis
kebangkrutan spiritual. Lebih jauh, sehingga dalam tilikan Nursi, kebajikan
teragung pada abad duapuluh adalah menyelamatkan keimanan kaum Muslim yang
tengah dilanda krisis keimanan.
Kedua, faktor
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi secara kontekstual dalam
pengamalan-pengamalan sufisme sekaligus dalam wacana sufisme itu sendiri secara
substantif. Meskipun Nursi cukup apresiatif terhadap wacana-wacana tasawuf dan
para empu-empu sufi, semacam Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani,
Maulana Jalaluddin Rumi, Ibn al-Arabi, dan Imam Rabbani, sikap apresiatif tersebut
tidak menghalanginya untuk tetap bersikap kritis terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tasawuf.
Menurut Nursi jalan kesalehan yang
paling indah, paling lurus, dan paling cemerlang adalah mengikuti teladan
Sunnah Nabi dalam semua tingkah laku, perbuatan, dan mematuhi perintah syariah.
Aturan-aturan dalam syariah yang berhubungan dengan puspa ragam amal kebajikan
yang merupakan buah wahyu Ilahi adalah lebih agung dan lebih penting ketimbang
pelbagai amal kebajikan yang diajarkan dalam orde sufi yang merupakan produk
inspirasi atau ilham. Alasan fundamentalnya adalah karena wahyu jauh lebih
tinggi ketimbang ilham. Dengan alasan ini, pijakan sufisme yang paling penting
seharusnya mengikuti Sunnah Nabi yang mulia.
Selanjutnya dalam merekonstruksi
tasawuf, Nursi tidak sekadar menimba kearifan dari Sunnah Nabi, tetapi ia juga
langsung menelisik Al-Quran yang suci. Bangunan tasawuf secara baru yang ia
konstruksikan dari Al-Quran membuahkan empat prinsip atau langkah besar,
luas, umum, dan universal bukan sepuluh langkah atau tujuh langkah
sebagaimana yang diajarkan dalam orde-orde sufi era klasik dan abad
pertengahan.[14]
Sufisme Said Nursi menempatkan iman
sebagai landasan utama dan pertama yang harus diperbaiki dalam menjalani
kehidupan di dunia ini, apalagi dalam menghadapi tantangan atheisme dan
sekularisme. Menurutnya tujuan pokok dari tasawuf dan tarekat adalah mengetahui
hakekat keimanan. Iman inilah yang menjadi titik sentral dalam pandangan Said
Nursi. Berangkat dari iman, maka orang bisa mengenal Allah, yang kemudian
menuju kepada mencintai Allah. Dan pada akhirnya akan merasakan sebuah
kelezatan dan kenikmatan yang tidak ada taranya ketika manusia sampai kepada
cinta kepada Allah “mahabbatullah”. Inilah yang dijelaskan dalam bukunya
yang berjudul “Anwar al-hakikat: Mabahis fiTasawuf wa al-Suluk”. Dalam
buku tersebut ia mengatakan:
“Ketahuilah dengan pasti bahwa
tujuan yang paling mulia bagi makhluk dan hasil yang paling mulia bagi fitrah
manusia adalah iman kepada Allah. Ketahuilah juga bahwa derajat yang paling
tinggi bagi manusia dan tempat yang paling mulia bagi manusia adalah ma’rifatullah/pengenalan
terhadap Allah, yang diperoleh dengan melalui Iman. Ketahuilah bahwa
kebahagiaan yang paling tinggi bagi manusia dan jin, kenikmatan yang paling
manis yaitu mahabbatullah/cinta kepada Allah yang diperoleh melalui ma’rifatullah.
Dan ketahuilah bahwa kesenangan yang paling suci bagi jiwa dan hati manusia
adalah allazatul ruhiyyah (kenikmatan spiritual) yang memancar dari mahabbatullah”.
Konsep tasawuf dari Said Nursi
terdiri dari empat fase. Fase ini berangkat dari iman, dengan iman manusia
dapat mengenal Allah/ma’rifatullah, dari ma’rifarullah manusia
mendapatkan mahabbatullah dan kemudian akan mencapai allazzat al
ruhiyyah.
1.
Hakekat Iman
Menurut Said,
persoalan iman merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan di dunia ini.
Bahkan lebih penting dari tasawuf itu sendiri. Menurutnya manusia tidak pernah
masuk surga tanpa iman, sementara banyak orang yang masuk surga bukan karena
tasawuf. Dalam hal ini Said menggambarkan keduanya dengan mengatakan bahwa
manusia tidak mungkin hidup tanpa roti (makanan pokok), sementara manusia bisa
hidup tanpa buah-buahan (makanan tambahan). Makanan pokok itu adalah iman,
sementara buah-buahan itu adalah tasawuf dan tarekat. Konsep keimanan bagi Said
Nursi berangkat dan sejalan dengan konsep yang dipahami oleh Imam al-Rabbany.
2.
Ma’rifatullah
Dari
pengkajian tentang isi al Qur’an, Said Nursi mendapatkan sebuah kata kunci
untuk mendekati dan mengenal Allah, yaitu dengan jalan kerendahan. Untuk
menjadikan manusia bisa merendahkan diri di hadapan Allah, maka ditempuhlah
beberapa cara untuk sampai kepadaNya dan menuju tingkat kesucian. Cara tersebut
dinamakan dengan al khututwat al ar’ba’ah (empat langkah), yaitu dengan al-a’jz
(menampakkan kelemahan), al-faqr (ketiadaan/kemiskinan), al
syaqafah (rasa kasih sayang), dan al-tafakkur (bertafakur)
3.
Mahabbatullah
Konsep
tasawuf menurut Said selanjutnya adalah mahabbatullah. Menurutnya orang-orang
yang mengenal Allah nantinya akan mendapatkan mahabbatullah. Pada konsep ini
mereka tidak lagi menghiraukan apapun yang terjadi. Merekan telah membentengi
dirinya dari berbagai macam godaan dan gangguan, termasuk tipu daya syaitan.
Perasaan cinta kepada Allah tidak goyah lagi.
4.
Al Lazzah al-Ruhiyah (Kenikmatan
Rohani)
Fase
ini adalah fase yang akan diperoleh oleh seorang hamba setelah ia mempunyai
hakekat iman yang menghasilkan ma’rifatullah dan menghasikan mahabbatullah.
Dengan demikian, jika seseorang mengenal Allah dengan pengenalan yang benar dan
hatinya telah dipenuhi dengan cahaya cintanya, maka ia akan menjadi pemilik
kebahagiaan yang tidak ada batasnya dan nimat yang tidak ada habisnya baik
sekarang maupun yang akan datang.[15]
F.
Said Nursi dan
Risalah An Nur
Secara umum periode kehidupan Said
Nursi terbagi menjadi tiga bagian, yakni Said Lama yang merupakan
periode panjang kehidupan Said Nursi yang bergumul dan terlibat langsung dengan
pergerakan-pergerakan politik dalam pemerintahan Turki Utsmani. Periode kedua
adalah Said Baru yang merupakan periode yang penuh dengan perenungan
intelektual tentang nasib umat Islam yang berhadapan dengan ideologi-ideologi
modern dengan usaha-usaha abrasi keimanan yang sistematis. Periode kedua kehidupan Said Nursi ini, disebut sebagai Said al-Jadid, Nursi secara utuh melepaskan dirinya dari
dunia perpolitikan dengan sebuah ungkapan terkenal yang ia lontarkan: A’udzu
billahi min asy-Syaithani wa min as-Siyasah (Aku berlindung kepada Allah
dari setan dan dari politik). Sedangkan periode ketiga adalah Said al-Tsalits, yakni
periode Said Nursi yang seluruh hidupnya diserahkan kepada pembinaan umat Islam
dengan mengajarkan ilmu al-Qur’an kepada masyarakat tentang pentingnya iman
bagi tegaknya kedamaian abadi dunia dan akhirat
Said Lama adalah Said yang
berpolitik praktis dengan menerjunkan diri dalam pancaroba kultur Turki.
Aktivitasnya dalam politik dimulai dengan sokongan terhadap gerakan
Pan-Islam-nya al-Afgani, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan organisasi
politik Ittihad-i Muhamedi. Karier politiknya berhenti ketika dia selalu
berhadapan dengan kepentingan-kepentingan politis yang sebagian besar, baginya,
mengingkari ajaran al-Qur’an. Fenomena-fenomena kawan dan lawan dalam politik,
bagi Nursi, semuanya jauh dari akhlak Qur’ani, terlebih ketika isu sekulerisme
dan komunisme berkembang di Turki yang sarat dengan kepentingan yang pragmatis.
Atas dasar itu dia menarik diri dari dunia politik. Inilah masa peralihan dari
Said Lama kepada Said Baru.
Said baru adalah said yang bergerak
menggerakkan pedang yang tidak tampak, yaitu pedang kemukjizatan al Qur’an.
Said baru adalah Said yang perhatian utamanya adalah menanamkan al Qur’an pada
setiap jiwa dan generasi dan menjadikannya sebagai cara melawan kelaliman rezim
sekuler. Said baru adalah Said yang karena kepentingan al Qur’an maka ia
menjauhi segala kepentingan yang bersifat fana dan duniawi, termasuk
kepentingan ekonomi, juga kepentingan politik. Said Baru merupakan masa
pengabdiannya pada al-Qur’an dengan menafsirkannya kemudian menyebarkan dalam
bentuk risalah-risalah. Seluruh isi interpretasinya terhadap al-Qur’an
merupakan respon langsung atas berkembangnya pola pikir yang materialistis,
positivistis dan bahkan ateistis.
Satu-satunya politik Said baru
adalah melawan segala bentuk usaha menjauhkan umat dari al Qur’an dan Islam,
dengan cara berdakwah mendekatkan umat dengan al Qur’an secara kultural,
mengajak umat merasakan kelezatan hidangan al Qur’an. Mengokohkan kembali
bangunan keimanan umat dengan ajaran-ajaran al Qur’an. Menjadikan al Qur’an
cahaya yang menerangi pikiran, jiwa, hati, dan jasad umat. Itulah inti semua
tulisan Said Nursi dalam Risalah Nur.
Seiring perjalanan waktu, Said Baru
membaca kitab futuh al-Gaib karya Abdul Qadir al-Jilani. Saat itu juga
ia menjadi sadar bahwa dirinya mempunyai penyakit-penyakit ruhani yang sangat
parah padahal ia diharapkan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit ruhani umat
Islam. Selanjutnya ia juga membaca kitab Maktubat,
karya Imam Rabbani yang menjadikan dirinya semakin mantap untuk beruzlah.
Terlebih lagi, saat Daulat Turki Usmani secara beruntun dilanda beragam musibah
hingga Inggris berhasil menduduki Istanbul (pada 16 Maret 1920 M.) yang semakin
leluasa menerapkan doktrin-doktrin dunia Barat yang bercorak materialistik.
Nursi merasa tikaman demi tikaman yang dihujatkan kepada dunia Islam terasa
seolah diarahkan ke lubuk hatinya. Dalam kondisi demikian, tekad nursi beruzlah
untuk menyusun karyanya Risalah An-Nur, tidak bisa diganggu gugat lagi.
Ia menetapkan diri untuk beruzlah ke salah satu daerah Turki, yaitu Shari Yar,
Bosfur.[16]
Bahkan ketika tahun 1922 M. Mustafa Kemal menawari dirinya jabatan sebagai
penasihat umum seluruh wilayah timur Turki dengan memberinya sebuah vila besar
termasuk dengan berbagai fasilitasnya, dan gaji yang menggiurkan sebesar 300
lira, agar ia menjadi salah satu orang dekatnya, Nursi menolak tawaran itu.[17]
Ketika uzlahnya inilah, Nursi yang hanya berdialog dengan Al-Quran semata tanpa
merujuk kepada kitab apa pun, lebih terfokus dalam menuangkan ide-idenya secara
inspiratif dalam usahanya membendung paham materialisme yang sudah menjangkit
sebagian besar masyarakat Turki. Sejak itu Nursi terfokus dalam aktivitas inqadz al-iman
(menyelamatkan keimanan) di Turki.
Uzlah itu juga terdorong karena Nursi menyaksikan bagaimana sistem
sekularisme yang diterapkan oleh penguasa dengan mensosialisasikan
doktrin-doktrin materialisme ke seluruh masyarakat Turki hingga nyaris
melumpuhkan keyakinan mereka. Sehingga Nursi menempuh langkah tersebut setelah
ia yakin bahwa memfokuskan diri sebagai pelayan Islam tidak mungkin dapat
diwujudkan melalui perjuangan politik dengan segala intrik dan pertentangannya,
terutama setelah sekolah-sekolah agama dibubarkan dan beratus masjid Jami’
diubah menjadi gudang, atau pusat hiburan, atau gelanggang remaja. Karenanya
Nursi pun mengubah aktivitas politiknya dan mengalihkan perhatiannya pada aspek
keimanan dan masalah-masalah akidah.
Kendati demikian, era kehidupan Nursi yang baru ini pun tidak sepi dari
teror penguasa. Dengan tuduhan terlibat dalam revolusi terhadap pemerintahan
Mustafa Kemal, Nursi ditangkap dan dibuang ke Barla, sebuah desa berbukit di
barat daya Turki pada tahun 1926 M. Di sana ia menjalani kehidupan yang sulit
dan terpisah hampir dari setiap orang. Tetapi ia berhasil mendapatkan hiburan,
pelipur sejati, dengan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Besar dan lewat
penyerahan diri seutuhnya kepada-Nya. Bagian-bagian pokok dari Risalah
an-Nur, The Words (Kumpulan Kata) dan The Letters (Kumpulan
Surat), ditulisnya di Barla kala ia dalam kondisi sulit.
Nursi berkenalan dengan seorang warga desa Barla yang bernama Sulaiman yang
akhirnya menjadi murid setia yang mengabdi kepadanya selama delapan tahun.
Inilah awal hubungan antara Nursi dengan warga penduduk Barla. Sejak itu satu
per satu orang-orang berdatangan untuk berguru kepadanya dan Nursi mulai
menyebarkan Risalah an-Nur secara sembunyi-sembunyi. Halakah pengajiannya
tumbuh dan berkembang. Sementara itu, para muridnya pun aktif mempelajari Risalah an-Nur dan menyalin serta menyebarluaskannya ke
seluruh penjuru Turki. Demi misi ini, mereka dengan hati yang mantap rela
ditangkap, diasingkan, bahkan walau sampai disiksa.
Salinan karya-karya Risalah an-Nur saat itu masih ditulis dengan
tangan dan mulai menyebar ke seantero Turki. Inilah awal mula pergerakan Risalah
an-Nur. Ternyata metode perjuangan Islam ini mengundang reaksi dan kebencian
pemerintah. Dengan tuduhan membangun rahasia dan melawan pemerintah, Nursi
dituntut hukuman mati dan seratus dua puluh santrinya diadili di Pengadilan
Pidana Eskisehir pada tahun 1935. Nursi ditahan selama sebelas bulan di penjara
sebelum akhirnya diputus tidak bersalah. Menariknya, justru kebanyakan karya
Nursi Risalah an-Nur sebagian besar ditulis pada masa-masa ia berada di
dalam penjara.
Nursi juga menulis risalah-risalah al-Iqtishad, al-Ikhlash, al-Hijab,
al-Isyarat ats-Tsalatsah, al-Mardha, asy-Syuyukh, serta risalah keduapuluh
delapan, kedua puluh sembilan, dan tiga puluh yang terkompilasi dalam kitab al-Lama’at dalam tahanan tahun 1935. Setelah dibebaskan dari pengadilan Eskisehir,
ia diasingkan kembali ke kota Kastamonu. Selama dalam tahanan Kastamonu, Nursi banyak menulis Risalahnya yang
terkodifikasi dalam The Rays. Tercatat ia menulis Sinar pertama dan
kedua sampai selesai, dan dilanjutkan Sinar ketiga sampai kesembilan yang di
dalamnya menjelaskan tanda tertinggi. Sebagian besar Risalah yang
tertuang dalam Lama’at dirampungkan pula selama dalam masa tawanan
tersebut.
Selama masa ini, baik Nursi maupun murid-muridnya terus-menerus mendapatkan
tekanan dari penguasa. Tekanan tersebut kian lama kian meningkat, dan berpuncak
dengan penangkapan besar-besaran hingga pengadilan dan pemenjaraan di Denizli
pada tahun 1943-1944. Nursi dikurung selama sembilan bulan dalam sebuah sel
yang kecil sekali, gelap, dan pengap dengan kondisi yang sangat menyedihkan.
Dalam penjara ini Nursi hanya bisa menyebarkan Risalahnya secara
sembunyi-sembunyi melalui selah kecil dari jendela kepada para murid-muridnya
karena ia dilarang untuk berhubungan secara terbuka.
Setelah dibebaskan, Nursi diasingkan ke Emirdag, salah sebuah daerah di
wilayah Afyon. Pada tahun 1948 sebuah perkara baru dibuka di Pengadilan Pidana
Afyon. Pengadilan memvonis Nursi dengan semena-mena, tetapi vonis tersebut
dibatalkan melalui banding sehingga Nursi beserta murid-muridnya dinyatakan
tidak bersalah dan dibebaskan pada bulan September 1949. Pada tahun yang sama, Risalah
an-Nur tersebar dari pelosok desa sampai pusat kota Turki setelah
pengadilan di berbagai daerah mengizinkannya untuk diterbitkan dengan tidak
lagi secara manual.[18]
BAB III
PENUTUP
Bediuzzaman Said Nursi dilahirkan menjelang fajar musim semi di
Nurs, sebuah desa kecil di propinsi Bitlis wilayah Turki Timur pada 1293 H/1877
M dan meninggal pada 20 Maret 1960 di Sanhurfa.
Keluarganya adalah suku Kurdi, ayahnya bernama Mizan, ia adalah seorang
sufi dari Ordo Naqsyabandi dan ibunya bernama Nuriye (Nuriyyah) berasal dari
Bilkin. Mereka mempunyai tujuh orang anak yaitu Durriyah Hanim, Alimah Hanim,
Abdullah, Said, Muhammad, Abdul Majid dan Marjan. Semasa muda sekitar usia
sembilan tahun, Sadi Nursi mulai belajar al Qur’an dengan kakaknya, Abdullah.
Karya-karya pemikiran Said Nursi yang telah beliau curahkan
diantaranya adalah Isharat al I’jaz, Qazil I’jaz fi Mantiq, al Sanuhat
serta makalah-makalahnya seperti Rumuz, Isharat, Tulu’at, Lama’at, Shafa’at,
Min Ma’rifah al Nabi SAW, Nuqtah min Ma’rifat Allah Jall Jalaluh, the Words
(kumpulan kata), The Letters (kumpulan surat), al Hijab, al
Shuyukh, dan Risale-i Nur.
Konsep tasawuf dari Said Nursi terdiri dari empat fase. Fase ini
berangkat dari iman, dengan iman manusia dapat mengenal Allah/ma’rifatullah,
dari ma’rifarullah manusia mendapatkan mahabbatullah dan kemudian
akan mencapai allazzat al ruhiyyah.
DAFTAR PUSTAKA
Hamza,
Biografi Bediuzzaman Said Nursi (Transformasi Dinasti Usmani menjadi
Republik Turki), Jakarta: Anatolia Prenada Group, 2007.
Mustamin, Kamaruddin, Dimensi Tasawuf Said Nursi, Al Fikr,
2011.
Nursi,
Said, Mi’raj Menembus Konstelasi Langit, terj. Sugeng Hariyanto,
Jakarta: Prenada Media, 2003.
, Risalah al-Nur: Sinar yang Mengungkap
Sanc Cahaya, terj. Sugeng Hariyanto dkk, Jakarta: Grafindo Persada, 2003.
Salih,
Ihsan Kasim, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama
dari Dogmatisme dan Sekularisme), Jakarta: Murai Kencana, 2003.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Mizan:
Bandung, 2006.
Shirazy,
Habiburrahman El, Api Tauhid Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid,
Jakarta: Republika, 2014.
Sulaiman,
Wan Jeffree Wan, Mujaddid Islam Sheikh Bediuzzaman Said Nursi, Ankara:
Ihlas Nur Nesriyat, 1987.
Zaidin,
Mohamed, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan Pemikiran,
Selangor: Malita Jaya, 2001.
Zaprulkhan,
Disertasi Komparasi Pembaharuan Tasawuf Hamka dan Said Nursi, Yogyakarta, 2011.
[1] M. Quraish
Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Mizan: Bandung, 2006, 16.
[2] Said Nursi, Mi’raj
Menembus Konstelasi Langit, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta: Prenada Media,
2003, vii-viii.
[3] Wan Jeffree
Wan Sulaiman, Mujaddid Islam Sheikh Bediuzzaman Said Nursi, Ankara:
Ihlas Nur Nesriyat, 1987, 5.
[4] Mohamed
Zaidin, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan Pemikiran,
Selangor: Malita Jaya, 2001, 119.
[5] Habiburrahman
El Shirazy, Api Tauhid Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid, Jakarta:
Republika, 2014, xxiv
[6] Ihsan Kasim
Salih, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama dari
Dogmatisme dan Sekularisme), Jakarta: Murai Kencana, 2003, 9.
[7] Habiburrahman
El Shirazy, Api Tauhid Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid..., xxiv.
[8]Hamza, Biografi
Bediuzzaman Said Nursi (Transformasi Dinasti Usmani menjadi Republik Turki),
Jakarta: Anatolia Prenada Group, 2007, 11.
[9] Ihsan Kasim
Salih, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama dari
Dogmatisme dan Sekularisme)..., 11-12.
[10] Habiburrahman
El Shirazy, Api Tauhid Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid..., xxv-xxviii.
[11]Said Nursi, Risalah
al-Nur: Sinar yang Mengungkap Sanc Cahaya, terj. Sugeng Hariyanto dkk,
Jakarta: Grafindo Persada, 2003, XXI.
[12] Ihsan Kasim
Salih, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama dari
Dogmatisme dan Sekularisme)..., 130
[13]
Kamaruddin
Mustamin, Dimensi Tasawuf Said Nursi, Al Fikr, 2011, 515
[14] Zaprulkhan, Disertasi Komparasi Pembaharuan Tasawuf Hamka dan Said Nursi, Yogyakarta, 2011,
120-125.
[15] Kamaruddin
Mustamin, Dimensi Tasawuf Said Nursi, Al Fikr, 2011, 515-519
[17] Habiburrahman es Shirazy, Api Tauhid...,
No comments:
Post a Comment