Tuesday, September 20, 2016

Penelitian Tindakan Kelas

NON-POSITIVISME
I.              PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat serta tuntutan manusia untuk memperoleh kebenaran secara lebih komprehensif, maka metodologi penelitian sebagai sebuah disiplin yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran juga mengalami pergeseran, khususnya pada aspek epistemologis. Berdasarkan aspek filosofi yang mendasarinya, penelitian secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua dua macam, yaitu penelitian yang berlandaskan pada aliran atau paradigma filsafat positivisme dan aliran filsafat non positivisme. Apabila penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan akhir menemukan kebenaran, maka ukuran maupun sifat kebenaran antara kedua paradigma filsafat tersebut berbeda satu dengan yang lain. Pada makalah sebelumnya telah dijelaskan tentang penelitian yang berlandaskan pada aliran atau paradigma filsafat positivisme, dan untuk kali ini kami akan menyajikan tema tentang penelitian yang berlandaskan pada aliran atau paradigma filsafat non positivisme.

II.           RUMUSAN MASALAH
A.       Apa Pengertian Non Positivisme?
B.       Apa Saja Perkembangan Model Penelitian Non-Positivisme?

III.        PEMBAHASAN
A.       Pengertian Non-Positivisme
Post-positivisme lahir karena adanya keraguan dari beberapa pakar penelitian terhadap pendekatan positivisme dalam penelitian ilmu sosial. Sebagaimana kritik Cherns bahwa data statistik hanya dapat mendeskripsikan fenomena yang telah di akui, tetapi statistik tidak dapat mendiskripsikan fenomena baru atau fenomena yang sedang berubah. Bahkan Rich (1979) juga mengkritik pandangan positivisme yang mengatakan bahwa penelitian dan hasil bebas dari sistem nilai-nilai atau bias, bebas dari pengaruh orang yang mengamatinya. Rich mengatakan “There is no ‘the truth”, nor a truth, truth is not one thing, or even a system. It is an increasing complexity. Pengalaman yang begitu kompleks tidak dapat diikat hanya oleh satu teori tertentu, melainkan teori harus “open-ended, non-dogmatic, grounded in the circumstances of everyday life”.
Sebagai salah satu cirinya, penelitian menurut pendekatan post positivisme dilakukan dalam situasi yang wajar atau dalam latar alami (natural setting) dengan menggunakan metode naturalistic. Di samping itu, metode ini dalam pengumpulan datanya bersifat kualitatif sehingga disebut juga pendekatan kualitatif (qualitative design), yang pada hakikatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Namun demikian menurut Sutopo (1990) adanya beragam istilah dalam penelitian kualitatif, seperti penelitian naturalistik, pascapositifistik, etnografi, fenomenologis, hermeneutis, subjektif, interpretatif, humanistik dan studi kasus disebabkan adanya kecenderungan peneliti yang menekankan pandangan yang berbeda mengenai apa yang dianggapnya paling penting sehingga memilih istilah khusus.[1]

B.       Perkembangan Model Penelitian Non-Positivisme
Beberapa dekade sejak awal berdirinya penelitian kualitatif, para ahli penelitian kualitatif berpikir bahwa jika penelitian kualitatif ingin maju dan berkembang menjadi suatu metodelogi yang baku dan dapat di sejajarkan dengan metodelogi yang lain, maka penelitian kualitatif membutuhkan beberapa model atau pendekatan yang dibakukan dengan tujuan sebagai sarana untuk memudahkan peneliti yang ingin melakukan penelitian kualitatif. Selain itu, model atau pendekatan tersebut dapat dijadikan identitas khas dari penelitian kualitatif.[2]
Beberapa model atau pendekatan penelitian kualitatif diantaranya: metode etnografik biasa dilaksanakan dalam antropologi dan sosiologis, metode fenomenologis digunakan dalam sosiologis, psikologi dan filsafat, studi kasus digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, kemanusiaan, psikologi dan ilmu politik.

Etnografik
Antropologi
Sosiologis
 



Fenomenologis
Sosiologis

Psikologi
Filsafat
Studi Kasus
Ilmu-ilmu Sosial
Kemanusiaan
Ilmu Politik
Psikologi
 















Gambar 1.1[3]
1.         Studi Etnografik
Studi Etnografik (ethnographic studies) mendiskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok sosial atau sistem. Meskipun makna budaya itu sangat luas tetapi studi etnografik biasanya dipusatkan pada pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan cara-cara hidup. Proses penelitian etnografik dilaksanakan di lapangan dalam waktu yang cukup lama, berbentuk observasi dan wawancara secara alamiah dengan para partisipan, dalam berbagai bentuk kesempatan kegiatan, serta mengumpulkan dokumen-dokumen dan benda-benda (ertifak).
Hasil akhir penelitian bersifat komprehensif, suatu naratif deskriptif yang bersifat menyeluruh disertai interpretasi yang mengintregrasikan seluruh aspek-aspek kehidupan dan menggambarkan komplektisitas kehidupan tersebut. Beberapa peneliti juga melakukan penelitian mikro etnografi, penelitian difokuskan pada salah satu aspek saja. Dalam pendidikan dan kurikulum difokuskan pada salah satu kegiatan inovasi seperti pelaksanaan model kurikulum terintegrasi, berbasis kompetensi, pembelajaran kontekstual, dsb.[4]
Tantangan bagi seorang peneliti untuk melakukan penelitian kualitatif model etnografi. Creswell (1998) menyatakan tiga tantangan:
a.    Peneliti harus menyelami dan benar-benar mamahami secara antropologi budaya dan memahami arti dari sistem sosio-kultural serta memiliki pemahaman konseptual dari penelitian yang akan dilakukan.
b.    Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini umumnya panjang dan terhitung lama karena perubahan sosio-kultural yang terjadi biasanya cenderung lambat.
c.    Di banyak penelitian model ini, tulisan berbentuk naratif dan hampir mirip dengan pendekatan storytelling yang memiliki ciri khas, yaitu dapat membatasi pembaca (hanya pembaca yang terbiasa dengan tata cara penulisan naratif saja) yang dapat “menikmatinya”. Serta jika peneliti sendiri tidak terbiasa dengan cara penulisan bentuk naratif, maka akan sedikit harus menyesuaikan diri.[5]

2.         Studi fenomenologis
Fenomonologi merupakan salah satu model penelitian kualitatif yang dikembangkan oleh seorang ilmuan Eropa bernama Edmund Hussel pada awal abad ke-20. Fenomonologi berusaha untuk mengungkap dan mempelajari serta memahami suatu fenomena beserta konteksnya yang khas dan unik yang dialami oleh individu hingga tataran ”keyakinan” individu yang bersangkutan. Dengan demikian, dalam mempelajari dan memahaminya haruslah berdasarkan sudut pandang, paradigma dan keyakinan langsung dari individu yang bersangkutan sebagai subjek yang mengalami langsung. Disamping itu, dalam memahami dan mempelajarinya haruslah didukung oleh persiapan yang matang dan komperehensip dari peneliti untuk mendapatkan kepercayaan penuh dari subjek yang diteliti, sehingga keterdekatan dapat diperoleh dan dapat mendukung penelitian.[6]
Model fenomenologi membutuhkan konsentrasi lebih dan keterampilan menggali dan mengeksplorasi central phenomenon lebih dalam dibandingkan dengan model lainnya. Tantangan yang biasanya dihadapi pun lebih bervariasi (Herdiansyah, 2009). Cresweel (1998) mengemukakan beberapa tantangan yang umumnya dihadapi oleh peneliti fenomenologi yang diuraikan sebagai berikut:
a.    Peneliti membutuhkan pemahaman yang kuat dan mendalam dalam hal perspektif filosofis terhadap fenomena (central phenomenon) yang diangkat. Perspektif filosofis yang dimaksud adalah pemahaman mendalam bahkan hingga ke dasar (hakikat) dan inti dari suatu fenomena. Penggalian dan pemahan perspektif filosofis ini sebaiknya dilakukan sebelum studi fenomenologi dilakukan.
b.    Peneliti harus sangat berhati-hati dalam pemilihan dan penentuan subjek penelitian. Subjek yang dipilih harus benar-benar orang yang mengalami suatu pengalaman tentang fenomena yang diangkat. Apabila subjek penelitian merupakan suatu kelompok sosial, maka kelompok sosial tersebut harus benar-benar mengalami suatu pengalaman yang hampir sama tentang fenomena yang diangkat.
c.    Ketika subjek sudah ditentukan dan pengalaman tentang fenomena sudah ditemukan, permasalahan selanjutnya yang biasa terjadi adalah dalam hal menentukan batasan pengalaman. Pengalaman yang diangkat dalam fenomenologi haruslah ada batasan yang jelas. Jika tidak berbatas, maka akan sulit melakukan penarikan kesimpulan nantinya.
d.    Tantangan berikutnya adalah menuntut kejelian peneliti dalam hal memutuskan bagaimana dan dengan cara apa pengalaman pribadinya dapat terlibat dalam penelitian yang dilakukan.[7]

3.         Studi Kasus
Studi Kasus (Case study) merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap suatu “kesatuan sistem”. Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu. Studi kasus adalah suatu penelitian yang diarahkan untuk menghimpun data, mengambil makna, memperoleh pemahaman dari kasus tersebut. Kasus sama sekali tidak mewakili populasi dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulam dari populasi. Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus tersebut. Tiap kasus bersifat unik atau memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan kasus lainnya.
Suatu kasus dapat terdiri atas satu unit atau lebih dari satu unit, tetapi merupakan satu kesatuan. Kasus dapat satu orang, satu kelas, satu sekolah, beberapa sekolah tetapi dalam satu kantor kecamatan, dsb. Dalam studi kasus digunakan beberapa pengumpulan data seperti wawancara, observasi dan studi dokumenter, tetapi semuanya difokuskan ke arah mendapatkan kesatuan data dan kesimpulan.[8]
Setiap model dalam kualitatif memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, begitupun dengan model studi kasus. Secara umum, studi kasus memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan model lainnya. Bungin (2005), menyatakan kelebihan studi kasus sebagai berikut:
1.      Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas.
2.      Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar melalui prilaku manusia. Melalui penyelidikan intensif, peneliti dapat menemukan karakter dan hubungan-hubungan yang mungkin tidak diduga sebelumnya.
Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan peneliti yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.[9]
Studi kasus mempunyai banyak kelemahan di samping adanya keunggulan-keunggulan. Studi kasus mempunyai kelemahan karena anggota sample yang terlalu kecil, sehingga sulit dibuat inferensi kepada populasi. Di samping itu, studi kasus sangat dipengaruhi oleh pandangan subjektif dalam pemilihan kasus karena adanya sifat khas yang dapat saja terlalu dibesar-besarkan. Kurangnya objektifitas, dapat disebabkan karena kasus cocok benar dengan konsep yang sebelumnya telah ada pada si peneliti, ataupun dalam pengamatan serta pengikutsertaan data dalam konteks yang bermakna yang menjurus pada interpretasi subjektif.
Studi kasus mempunyai keunggulan sebagai suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar di kemudian hari. Studi kasus dapat memberikan hipotesis-hipotesis untuk penelitian lanjutan. Dari segi edukatif, maka studi kasus dapat digunakan sebagai contoh ilustrasi baik dalam menganalisis data serta cara-cara perumusan generalisasi dan kesimpulan.
Langkah-langkah pokok dalam meneliti kasus adalah sebagai berikut:
a.       Rumuskan tujuan penelitian
b.      Tentukan unit-unit studi, sifat-sifat mana yang akan diteliti dan hubungkan apa yang akan dikaji serta proses-proses apa yang akan menuntun penelitian
c.       Tentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik pengumpulan data mana yang digunakan, sumber-sumber data apa yang tersedia
d.      Kumpulkan data
e.       Organisasikan informasi serta data yang terkumpul dan analisis untuk membuat interpretasi serta generalisasi
f.       Susun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari hasil penelitian.[10]
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa setiap penetilian pasti memiliki tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh seorang peneliti. Tantangan tersebut bukan tantangan yang ringan tapi harus benar-benar diperhatikan oleh peneliti. Berikut tantangan-tantangan bagi peneliti untuk masing-masing penelitian dalam bentuk tabel:
Etnografik
Fenomenologi
Studi Kasus
1.    Harus benar-benar memiliki pemahaman konseptual dari penelitian yang akan dilakukan
2.    Membutuhkkan waktu yang sangat lama
3.    Berbentuk naratif
1.    Pemahaman mendalam terhadap fenomena
2.    Harus hati-hati dalam pemilihan subjek penelitian
3.    Pengalaman dalam fenomenologi harus ada batasan yang jelas
4.    Kejelian peneliti dalam memutuskan keterlibatan dirinya dalam penelitian
1.    Sulit dibuat inferensi kepada populasi karena kecilnya sampel
2.    Sangat dipengaruhi pandangan subjektif

IV.        KESIMPULAN
Non-Positivisme adalah satu cara pandang open mind untuk mendapatkan keunikan informasi serta tidak untuk generalisasi yang entry pouint pendekatannya berawal dari pemaknaan untuk menghasilkan teori dan bukan mencari kebenaran terhadap suatu teori ataupun menjelaskan suatu teori, dikarenakan kebenaran terhadap teori yang dihasilkan.
Beberapa model atau pendekatan penelitian kualitatif diantaranya: metode etnografik biasa dilaksanakan dalam antropologi dan sosiologi, metode fenomenologis digunakan dalam sosiologis, psikologi dan filsafat, studi kasus digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, kemanusiaan, psikologi dan ilmu politik.

V.           PENUTUP
Demikan makalah yang dapat kami susun sekaligus kami presentasikan. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi berbagai pihak. Amin..




















DAFTAR PUSTAKA

Herdiansyah, Haris. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Zuriah, Nurul. 2007. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi, Jakarta: PT Bumi Aksara
Nazir,Moh.. Metode Penelitian. 2005. Bogor: Ghalia Indonesia

No comments:

Post a Comment