NON-POSITIVISME
I.
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat serta tuntutan manusia untuk
memperoleh kebenaran secara lebih komprehensif, maka metodologi penelitian
sebagai sebuah disiplin yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran juga
mengalami pergeseran, khususnya pada aspek epistemologis. Berdasarkan aspek filosofi yang mendasarinya, penelitian secara garis besar
dapat dikategorikan menjadi dua dua macam, yaitu penelitian yang berlandaskan
pada aliran atau paradigma filsafat positivisme dan aliran filsafat non
positivisme. Apabila penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan akhir menemukan
kebenaran, maka ukuran maupun sifat kebenaran antara kedua paradigma filsafat
tersebut berbeda satu dengan yang lain. Pada makalah sebelumnya telah
dijelaskan tentang penelitian yang berlandaskan pada aliran atau paradigma
filsafat positivisme, dan untuk kali ini kami akan menyajikan tema tentang
penelitian yang berlandaskan pada aliran atau paradigma filsafat non
positivisme.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
Pengertian Non Positivisme?
B.
Apa
Saja Perkembangan Model Penelitian Non-Positivisme?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Non-Positivisme
Post-positivisme lahir karena adanya
keraguan dari beberapa pakar penelitian terhadap pendekatan positivisme dalam
penelitian ilmu sosial. Sebagaimana kritik Cherns bahwa data statistik hanya
dapat mendeskripsikan fenomena yang telah di akui, tetapi statistik tidak dapat
mendiskripsikan fenomena baru atau fenomena yang sedang berubah. Bahkan Rich
(1979) juga mengkritik pandangan positivisme yang mengatakan bahwa penelitian
dan hasil bebas dari sistem nilai-nilai atau bias, bebas dari pengaruh orang
yang mengamatinya. Rich mengatakan “There is no ‘the truth”, nor a truth,
truth is not one thing, or even a system. It is an increasing complexity.
Pengalaman yang begitu kompleks tidak dapat diikat hanya oleh satu teori
tertentu, melainkan teori harus “open-ended, non-dogmatic, grounded in the
circumstances of everyday life”.
Sebagai salah satu cirinya,
penelitian menurut pendekatan post positivisme dilakukan dalam situasi yang
wajar atau dalam latar alami (natural setting) dengan menggunakan metode
naturalistic. Di samping itu, metode ini dalam pengumpulan datanya bersifat
kualitatif sehingga disebut juga pendekatan kualitatif (qualitative design),
yang pada hakikatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi
dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia
sekitarnya. Namun demikian menurut Sutopo (1990) adanya beragam istilah dalam
penelitian kualitatif, seperti penelitian naturalistik, pascapositifistik,
etnografi, fenomenologis, hermeneutis, subjektif, interpretatif, humanistik dan
studi kasus disebabkan adanya kecenderungan peneliti yang menekankan pandangan
yang berbeda mengenai apa yang dianggapnya paling penting sehingga memilih
istilah khusus.[1]
B.
Perkembangan Model Penelitian Non-Positivisme
Beberapa dekade sejak awal
berdirinya penelitian kualitatif, para ahli penelitian kualitatif berpikir
bahwa jika penelitian kualitatif ingin maju dan berkembang menjadi suatu metodelogi
yang baku dan dapat di sejajarkan dengan metodelogi yang lain, maka penelitian
kualitatif membutuhkan beberapa model atau pendekatan yang dibakukan dengan
tujuan sebagai sarana untuk memudahkan peneliti yang ingin melakukan penelitian
kualitatif. Selain itu, model atau pendekatan tersebut dapat dijadikan
identitas khas dari penelitian kualitatif.[2]
Beberapa model atau pendekatan
penelitian kualitatif diantaranya: metode etnografik biasa dilaksanakan
dalam antropologi dan sosiologis, metode fenomenologis digunakan dalam sosiologis,
psikologi dan filsafat, studi kasus digunakan dalam ilmu-ilmu sosial,
kemanusiaan, psikologi dan ilmu politik.
Etnografik
|
Antropologi
|
Sosiologis
|
Fenomenologis
|
Sosiologis
|
Psikologi
|
Filsafat
|
Studi Kasus
|
Ilmu-ilmu Sosial
|
Kemanusiaan
|
Ilmu
Politik
|
Psikologi
|
Gambar 1.1[3]
1.
Studi
Etnografik
Studi Etnografik (ethnographic studies) mendiskripsikan dan
menginterpretasikan budaya, kelompok sosial atau sistem. Meskipun makna budaya
itu sangat luas tetapi studi etnografik biasanya dipusatkan pada pola-pola
kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan cara-cara hidup. Proses penelitian
etnografik dilaksanakan di lapangan dalam waktu yang cukup lama, berbentuk
observasi dan wawancara secara alamiah dengan para partisipan, dalam berbagai
bentuk kesempatan kegiatan, serta mengumpulkan dokumen-dokumen dan benda-benda
(ertifak).
Hasil akhir penelitian bersifat komprehensif, suatu naratif
deskriptif yang bersifat menyeluruh disertai interpretasi yang
mengintregrasikan seluruh aspek-aspek kehidupan dan menggambarkan
komplektisitas kehidupan tersebut. Beberapa peneliti juga melakukan penelitian
mikro etnografi, penelitian difokuskan pada salah satu aspek saja. Dalam
pendidikan dan kurikulum difokuskan pada salah satu kegiatan inovasi seperti
pelaksanaan model kurikulum terintegrasi, berbasis kompetensi, pembelajaran
kontekstual, dsb.[4]
Tantangan bagi seorang peneliti untuk melakukan penelitian
kualitatif model etnografi. Creswell (1998) menyatakan tiga tantangan:
a.
Peneliti
harus menyelami dan benar-benar mamahami secara antropologi budaya dan memahami
arti dari sistem sosio-kultural serta memiliki pemahaman konseptual dari
penelitian yang akan dilakukan.
b.
Waktu
yang dibutuhkan dalam penelitian ini umumnya panjang dan terhitung lama karena
perubahan sosio-kultural yang terjadi biasanya cenderung lambat.
c.
Di
banyak penelitian model ini, tulisan berbentuk naratif dan hampir mirip dengan
pendekatan storytelling yang memiliki ciri khas, yaitu dapat membatasi
pembaca (hanya pembaca yang terbiasa dengan tata cara penulisan naratif saja)
yang dapat “menikmatinya”. Serta jika peneliti sendiri tidak terbiasa dengan
cara penulisan bentuk naratif, maka akan sedikit harus menyesuaikan diri.[5]
2.
Studi
fenomenologis
Fenomonologi merupakan salah satu
model penelitian kualitatif yang dikembangkan oleh seorang ilmuan Eropa bernama
Edmund Hussel pada awal abad ke-20. Fenomonologi berusaha untuk
mengungkap dan mempelajari serta memahami suatu fenomena beserta konteksnya
yang khas dan unik yang dialami oleh individu hingga tataran ”keyakinan” individu
yang bersangkutan. Dengan demikian, dalam mempelajari dan memahaminya haruslah
berdasarkan sudut pandang, paradigma dan keyakinan langsung dari individu yang
bersangkutan sebagai subjek yang mengalami langsung. Disamping itu, dalam
memahami dan mempelajarinya haruslah didukung oleh persiapan yang matang dan
komperehensip dari peneliti untuk mendapatkan kepercayaan penuh dari subjek
yang diteliti, sehingga keterdekatan dapat diperoleh dan dapat mendukung
penelitian.[6]
Model fenomenologi membutuhkan konsentrasi lebih dan keterampilan
menggali dan mengeksplorasi central phenomenon lebih dalam dibandingkan
dengan model lainnya. Tantangan yang biasanya dihadapi pun lebih bervariasi
(Herdiansyah, 2009). Cresweel (1998) mengemukakan beberapa tantangan yang
umumnya dihadapi oleh peneliti fenomenologi yang diuraikan sebagai berikut:
a. Peneliti membutuhkan pemahaman yang kuat dan mendalam dalam hal
perspektif filosofis terhadap fenomena (central phenomenon) yang
diangkat. Perspektif filosofis yang dimaksud adalah pemahaman mendalam bahkan
hingga ke dasar (hakikat) dan inti dari suatu fenomena. Penggalian dan pemahan
perspektif filosofis ini sebaiknya dilakukan sebelum studi fenomenologi
dilakukan.
b. Peneliti harus sangat berhati-hati dalam pemilihan dan penentuan subjek
penelitian. Subjek yang dipilih harus benar-benar orang yang mengalami suatu
pengalaman tentang fenomena yang diangkat. Apabila subjek penelitian merupakan
suatu kelompok sosial, maka kelompok sosial tersebut harus benar-benar
mengalami suatu pengalaman yang hampir sama tentang fenomena yang diangkat.
c. Ketika subjek sudah ditentukan dan pengalaman tentang fenomena sudah
ditemukan, permasalahan selanjutnya yang biasa terjadi adalah dalam hal
menentukan batasan pengalaman. Pengalaman yang diangkat dalam fenomenologi
haruslah ada batasan yang jelas. Jika tidak berbatas, maka akan sulit melakukan
penarikan kesimpulan nantinya.
d. Tantangan berikutnya adalah menuntut kejelian peneliti dalam hal
memutuskan bagaimana dan dengan cara apa pengalaman pribadinya dapat terlibat
dalam penelitian yang dilakukan.[7]
3.
Studi Kasus
Studi Kasus (Case study)
merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap suatu “kesatuan sistem”. Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau
sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu. Studi kasus adalah suatu penelitian yang diarahkan untuk menghimpun data,
mengambil makna, memperoleh pemahaman dari kasus tersebut. Kasus sama sekali
tidak mewakili populasi dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulam dari
populasi. Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus tersebut. Tiap kasus
bersifat unik atau memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan kasus
lainnya.
Suatu kasus dapat terdiri atas satu unit atau lebih dari satu unit, tetapi merupakan
satu kesatuan. Kasus dapat satu orang, satu kelas, satu sekolah, beberapa
sekolah tetapi dalam satu kantor kecamatan, dsb. Dalam studi kasus digunakan
beberapa pengumpulan data seperti wawancara, observasi dan studi dokumenter,
tetapi semuanya difokuskan ke arah mendapatkan kesatuan data dan kesimpulan.[8]
Setiap model dalam kualitatif memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan, begitupun dengan model studi kasus. Secara umum, studi kasus memiliki
beberapa kelebihan dibanding dengan model lainnya. Bungin (2005), menyatakan
kelebihan studi kasus sebagai berikut:
1.
Studi
kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta
proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas.
2.
Studi
kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep
dasar melalui prilaku manusia. Melalui penyelidikan intensif, peneliti dapat
menemukan karakter dan hubungan-hubungan yang mungkin tidak diduga sebelumnya.
Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang
sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi
perencanaan peneliti yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan
ilmu-ilmu sosial.[9]
Studi kasus mempunyai banyak kelemahan di samping adanya
keunggulan-keunggulan. Studi kasus mempunyai kelemahan karena anggota sample
yang terlalu kecil, sehingga sulit dibuat inferensi kepada populasi. Di samping
itu, studi kasus sangat dipengaruhi oleh pandangan subjektif dalam pemilihan
kasus karena adanya sifat khas yang dapat saja terlalu dibesar-besarkan.
Kurangnya objektifitas, dapat disebabkan karena kasus cocok benar dengan konsep
yang sebelumnya telah ada pada si peneliti, ataupun dalam pengamatan serta
pengikutsertaan data dalam konteks yang bermakna yang menjurus pada
interpretasi subjektif.
Studi kasus mempunyai keunggulan sebagai suatu studi untuk mendukung
studi-studi yang besar di kemudian hari. Studi kasus dapat memberikan
hipotesis-hipotesis untuk penelitian lanjutan. Dari segi edukatif, maka studi
kasus dapat digunakan sebagai contoh ilustrasi baik dalam menganalisis data
serta cara-cara perumusan generalisasi dan kesimpulan.
Langkah-langkah pokok dalam meneliti kasus adalah sebagai berikut:
a. Rumuskan tujuan penelitian
b. Tentukan unit-unit studi, sifat-sifat mana yang akan diteliti dan hubungkan
apa yang akan dikaji serta proses-proses apa yang akan menuntun penelitian
c. Tentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik
pengumpulan data mana yang digunakan, sumber-sumber data apa yang tersedia
d. Kumpulkan data
e. Organisasikan informasi serta data yang terkumpul dan analisis untuk
membuat interpretasi serta generalisasi
f. Susun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari hasil
penelitian.[10]
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa setiap penetilian pasti memiliki
tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh seorang peneliti. Tantangan
tersebut bukan tantangan yang ringan tapi harus benar-benar diperhatikan oleh
peneliti. Berikut tantangan-tantangan bagi peneliti untuk masing-masing
penelitian dalam bentuk tabel:
Etnografik
|
Fenomenologi
|
Studi Kasus
|
1. Harus benar-benar memiliki pemahaman konseptual dari
penelitian yang akan dilakukan
2. Membutuhkkan waktu yang sangat lama
3. Berbentuk naratif
|
1. Pemahaman mendalam terhadap fenomena
2. Harus hati-hati dalam pemilihan subjek penelitian
3. Pengalaman dalam fenomenologi harus ada batasan yang
jelas
4. Kejelian peneliti dalam memutuskan keterlibatan
dirinya dalam penelitian
|
1. Sulit dibuat inferensi kepada populasi karena
kecilnya sampel
2. Sangat dipengaruhi pandangan subjektif
|
IV.
KESIMPULAN
Non-Positivisme adalah satu cara
pandang open mind untuk mendapatkan keunikan informasi serta tidak untuk
generalisasi yang entry pouint pendekatannya berawal dari pemaknaan untuk
menghasilkan teori dan bukan mencari kebenaran terhadap suatu teori ataupun
menjelaskan suatu teori, dikarenakan kebenaran terhadap teori yang dihasilkan.
Beberapa model atau pendekatan
penelitian kualitatif diantaranya: metode etnografik biasa dilaksanakan
dalam antropologi dan sosiologi, metode fenomenologis digunakan dalam
sosiologis, psikologi dan filsafat, studi kasus digunakan dalam ilmu-ilmu
sosial, kemanusiaan, psikologi dan ilmu politik.
V.
PENUTUP
Demikan makalah yang dapat kami
susun sekaligus kami presentasikan. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi berbagai pihak. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Herdiansyah,
Haris. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial,
Jakarta: Salemba Humanika
Sukmadinata,
Nana Syaodih. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Zuriah,
Nurul. 2007. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi,
Jakarta: PT Bumi Aksara
Nazir,Moh..
Metode Penelitian. 2005. Bogor: Ghalia Indonesia
No comments:
Post a Comment