TAFSIR HERMENEUTIKA
I.
PENDAHULUAN
Bagi umat Islam, al-Qur’an adalah kitab suci yang diyakini secara konsensus
(ijma’) otentisitas dan orisinalitasnya sebagai hudan li al-nas
dan rahmatan li al-alamin. Sebagai kitab suci
yang memiliki posisi sangat penting bagi kehidupan manusia dan yang relevan
bagi setiap ruang dan waktu ia senantiasa ditafsirkan dan ditafsirkan ulang.
Sebagaimana diperkenalkan kepada kita, al-Qur’an adalah kumpulan ayat. Ayat
pada hakikatnya adalah tanda dan simbol yang tampak. Namun, simbol tersebut
tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tetapi
tersirat, sebagaimana diperkenalkan konsep tafsir dan ta’wil.
Hubungan antara keduanya, antara makna tersurat dan makna tersirat, terjalin
sedemikian rupa, hingga bila tanda dan simbol itu dipahami oleh pikiran, maka
makna yang tersirat Insyaallah akan dipahami pula oleh jiwa seseorang.[1]
Munculnya berbagai pendekatan baru dalam upaya memahami al-Qur’an, jelas
membuktikan adanya dinamika pada diri umat Islam dalam upaya memahami
universalitas kitab sucinya. Hermeneutika misalnya, merupakan salah satu
pendekatan eksegesis (penafsiran) kontemporer dalam diskursus ulum
al-Qur’an yang banyak mendapat sorotan para pemerhati al-Qur’an.
Sejak hermeneutika menjadi bagian dari upaya pemahaman atas al-Qur’an,
pemikiran-pemikiran yang muncul terkait dengan pemaknaan kitab suci itu pun
semakin progressif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam pendekatan
hermeneutik ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang
“sakral”. Di mata hermeneutik, semua ayat bisa “dipahami” betapapun harus
“mengobrak-abrik” pemaknaan yang telah mapan selama berabad-abad, bahkan terhadap
al-Qur’an sendiri. Betapapun tradisi ta’wil sudah cukup lama dalam
sejarah umat Islam, namun pendekatan hermeneutik menawarkan sesuatu yang baru.
Berikut akan diterangkan tentang tafsir hermeneutika.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana
pengertian tafsir hermeneutik?
B.
Bagaimana prinsip
penafsiran pendekatan hermeneutik?
C.
Bagaimana contoh
penafsiran dengan pendekatan hermeneutik?
D.
Bagaimana pro kontra
metode hermeneutik?
E.
Bagaimana bahaya tafsir
hermeneutik?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hermeneutik
Secara etimologis, kata
hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein yang berarti
menafsirkan atau hermenia yang berarti penafsiran. Istilah tersebut
merujuk kepada seorang tokoh mitologis yang disebut Hermes, yaitu seorang
utusan dewa yang bertugas menerjemahkan pesan Yupiter yang menggunakan bahasa
langit agar lebih mudah dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa bumi. Dalam
tradisi yang berbahasa Latin, Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius,
sementara dalam literatur Islam, Hermes adalah Nabi Idris yang dikenal sebagai
orang pertama mengetahui cara menulis, memiliki kemampuan tekhnologi (sina’ah),
kedokteran, astrologi, sihir dan lain-lain. Di kalangan Yahudi dalam mitologi
Mesir Kuno, Hermes dikenal sebagai dewa Toth yang tidak lain adalah nabi Musa.[2]
Dalam bahasa Arab arti yang sepadan dengan hermeneutika adalah tafsir, takwil,
syarh dan bayan.[3]
Sedangkan secara termenologi, dalam
makna umum hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Dan secara umum hermeneutika diderivikasikan
kepada tiga pengertian. Pertama, pengungkapan pikiran dalam kata-kata,
penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir. Kedua, usaha mengalihkan
bahasa asing yang gelap makna kedalam bahasa lain yang dapat dimengerti oleh
pembaca. Ketiga, pengungkapan pikiran yang samar diubah menjadi bentuk
ungkapan yang jelas.
Zygmunt Bauman mengatakan bahwa
hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar
dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan
kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembacanya.[4]
Mudjia juga mengatakan bahwa hermeneutika adalah upaya peralihan dari sesuatu
yang gelap ke sesuatu yang terang.[5]
Sedangkan menurut Nurcholis Madjid, dalam
bukunya Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa hermeneutika ialah pemahaman atau
pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci
(al-Qur’an dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah
hanya makna lahiriah dari kata-kata teks suci itu, tetapi lebih-lebih “makna
dalam” (batin, “inward meaning”) yang dikandungnya.[6]
Pengertian hermeneutika yang dikemukakan oleh para
ahli diatas, secara umum, sangat identik dengan ilmu Tafsir dalam tradisi studi
al-Qur’an. Bahkan kalau merujuk kepada definisi yang dikemukakan oleh Nurcholis
Madjid, pengertian hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir tapi juga ta’wil. Tafsir artinya mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam
teks, sedangkan takwil menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal dari
gagasan yang terbungkus dalam teks.[7]
B.
Prinsip Penafsiran Pendekatan Hermeneutik
Menurut Komaruddin Hidayat, dalam hermeneutika ada dua
mazhab, yaitu mazhab hermeneutika transendental dan mazhab historis-psikologis.
Yang pertama berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan
pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam
teks. Yang kedua berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan
temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak
disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representatif oleh kehadiran teks.[8]
Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur
dalam aktivitas penafsiran, yaitu:
1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber asal dalam penafsiran yang
diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes.
2. Perantara atau penafsir (Hermes).
3. Penyampaian pesan kepada audien agar bisa dipahami.[9]
Bisa dikatakan ketiga unsur inilah nantinya yang akan
menjadi tiga unsur utama dalam hermeneutika, yaitu sifat-sifat teks, alat apa
yang dipakai untuk memahami teks dan bagaimana pemahaman, penafsiran itu
ditentukan oleh anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang
menerima, dan menafsirkan teks.
Asumsi paling mendasar dari hermeneutika ini sebenanya
telah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas
yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari
keragaman konteks hidup manusia.[10]
Adapun pada tataran praksisnya, hermeneutika dapat
dibagi menjadi tiga bentuk:
1. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami (Hermeneutical Theory)
Hermeneutika jenis pertama ini adalah hermeneutika teoritis. Dalam
klasifikasi ini hermeneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman
yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu?
Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teori. Tentu saja sebagaimana asumsi
awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka
hermaneutika dalam kelompok pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks
sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman
yang komprehensif. Selain pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti
bagaimana makna teks secara morfologis, leksikologis, dan sintaksis
perlu pula pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa teks itu berasal ? Untuk
tujuan apa, dalam kondisi apa dan bagaimana kondisi pengarangnya ketika teks
itu tersebut disusun ? dan lain sebagainya.
2. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman (Hermenetiucal
Philosophy)
Dalam hermeneutika jenis kedua ini, fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana
agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh mengupas
seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam aspek psikologisnya,
sosiologisnya, historisnya dan lain sebagainya termasuk dalam aspek-aspek
filosofis yang mendalam seperti kajian terhadap pemahaman dan penafsiran
sebagai prasyarat eksistensial manusia.
3. Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Hermeneutika jenis ketiga ini dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih
jauh dari hermeneutika jenis kedua, bahkan dapat dikatakan bahwa secara
prinsipil obyek formal yang menjadi fokus kajiannya adalah sama. Yang
membedakan hermeneutika jenis ketiga dengan hermeneutika jenis kedua adalah
penekanan hermeneutika jenis ketiga ini terhadap determinasi-determinasi historis
dalam proses pemahaman, serta sejauh mana determinasi-determinasi tersebut
sering memunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana, termasuk juga
penindasan-penindasan sosial, budaya, dan politik akibat penguasaan otoritas
pemaknaan dan pemahaman oleh kelompok tertentu.[11]
Memahami teks dalam hermeneutika kritis tidaklah
sekedar memahami makna teks itu sendiri, melainkan mencakup pada wilayah
pembongkaran persepsi dari sebuah pengetahuan interpretasi maupun metode
interpretasi yang sudah dianggap mapan, dalam hal ini adalah tentang hakikat
teks al-Qur’an. Selain itu, hal ini pun mencoba juga menyingkap distorsi dan
ketimpangan yang mungkin terjadi ketika menimbang dan melakukan kegiatan serta
interpretasi. Apabila dikaitkan dengan teks al-Qur’an, maka kajian kritis dari
hermeneutika ini terfokus pada analisis dan kritik wacana teks al-Qur’an.[12]
Dengan prosedur kerja dan asumsi-asumsi semacam yang
digambarkan diatas, maka hermeneutika bisa dikatakan bergerak dalam tiga
horison, yaitu horison pengarang, horison teks dan horison penerima atau
pembaca. Atau dalam istilah Komaruddin, ketiga variable ini disebut dengan the
world of the text, the world of the author, dan the world of the
reader.[13]
Sementara secara prosedural, langkah kerja hermeneutika itu menggarap
wilayah teks, konteks dan kontekstualisasi, baik yang berkenaan dengan aspek
operasional metodologisnya maupun dalam dimensi epistemologis penafsirannya.
Hermeneutika jenis pertama dapat dikatakan menekankan proses pemahaman dalam
dua horison, yaitu dalam horison pengarang dan horison teks ; sementara
hermeneutika jenis kedua dan jenis ketiga memfokuskan kepada horison pembaca.
Hermeneutika jenis pertama berusaha melacak bagaimana teks tersebut dipahami
oleh pengarangnya dan kemudian pemahaman pengarang itulah yang dipandang
sebagai pemaknaan yang paling akurat terhadap teks, sementara hermeneutika
jenis kedua dan jenis ketiga lebih melihat bagaimana teks itu dipahami oleh
pembaca, karena pengarang tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks
yang telah diproduksinya, sehingga teks pada dasarnya mutlak milik pembacanya
untuk dipahami dan dihayati seperti apapun keinginannya.[14] Dalam
kondisi yang demikian, sangat logis bila secara konseptual hermeneutik
mengisyaratkan bahwa tidak ada suatu teks yang tidak dapat ditafsirkan oleh
hermeneut. Di sinilah bedanya dengan ilmu tafsir, di mana diajarkan bahwa tidak
semua teks (ayat) al-Qur’an dapat dipahami maknanya secara jelas.[15]
C.
Contoh Penafsiran Pendekatan Hermeneutik
Diantara contoh dari hermeneutika
al-Qur’an adalah penafsiran Syahrur terhadap surat al-Nisa’ ayat 13-14 yang
melahirkan sebuah teori baru dalam penetapan hukum. Teori ini ia sebut dengan Nazariyat
al-Hudud (teori batas). Redaksi ayat tersebut adalah sebagai
berikut:
ù=Ï? ßrßãm «!$# 4
ÆtBur ÆìÏÜã ©!$# ¼ã&s!qßuur ã&ù#Åzôã ;M»¨Zy_ Ìôfs? `ÏB $ygÏFóss? ã»yg÷RF{$# úïÏ$Î#»yz $ygÏù 4
Ï9ºsur ãöqxÿø9$# ÞOÏàyèø9$# ÇÊÌÈ ÆtBur ÄÈ÷èt ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtur ¼çnyrßãn ã&ù#Åzôã #·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ
Artinya: “(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”[16]
Syahrur mencermati penggalan ayat “تلك حدودلله” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan
batasan-batasan hukum adalah hanya Allah semata. Dia berpendapat bahwa otoritas
penetapan hukum (haqq al-tasyri’) hanya dimiliki Allah, sedangkan
Muhammad Saw, walaupun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya
bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (al-syari’).
Muhammad adalah seorang pelopor ijtihad dalam Islam.
Pendapat ini didasarkan pada pemahaman penggalan ayat
setelahnya “ويتعد
حدوده”,
yang berarti “dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya.” Kata ganti (dlamir)
“hu” pada penggalan ayat di atas merujuk kepada Allah saja, dan
penggalan ayat secara lengkap akan lebih menegaskan pemahaman ini : “Dan
barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya serta melanggar
batas-batas ketetapan hukum-Nya”. Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas
penetapan hukum hanya pada Allah saja, seandainya Nabi Muhammad berhak atau
memiliki otoritas tasyri’ tentulah ayat tersebut akan berbunyi, “ويتعد حدودهما”, yang artinya, “dan melanggar batas-batas
penetapan hukum keduanya (Allah dan rasul-Nya).[17]
Selain itu mengenai
penafsiran terhadap
Firman Allah S.W.T dalam surat al-Maidah ayat: 90 yang berbunyi:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.[18]
(QS. Al-Maidah: 90)
Menurut Nasr Abu Zay ayat tersebut diatas secara
konteks pada masa itu memang diharamkan, kerana kondisi masyarakat Arab pada saat itu cuacanya
sangat panas, tetapi dalam kondisi sekarang bahkan negara-negara yang memiliki
cuaca dingin dan khamar itu dapat menghangatkan badan maka khamar tersebut
hukumnya halal, maka jikalau begini cara penafsirannya hanya melihat secara
konteksnya akhirnya mereka juga akan mengatakan babi itu juga halal untuk
dikonsumsi.[19]
D.
Pro Kontra Metode Hermeneutik
Perdebatan
tentang penerapan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an hingga saat ini
“sulit” sekali untuk surut di kalangan ulama dan para sarjana Islam. Pro dan
kontra pun terjadi dan tidak dapat dihindari. Sebagian dari mereka menolak
secara totalitas, sebagian yang lain menerimanya secara keseluruhan dan
sebagian yang lain lagi berusaha menengah-nengahi perbedaan pendapat tersebut
dengan mengatakan bahwa sebagian teori hermeneutika dipandang acceptable
dalam kajian keislaman.[20]
Bagi
yang menolak, mereka secara umum berpandangan bahwa hermeneutika tidak layak
untuk diaplikasikan ke dalam (tafsir) al-Qur’an. Mereka berpijak kepada sejarah
di mana hermeneutika dilahirkan pertama untuk menafsirkan Bible. Selain itu,
sakralitas al-Qur’an tidak bisa disamakan atau bahkan dibandingkan dengan
Bible.
Dalam
hal ini, Adian Husaini mengemukakan, sebagaimana terdapat dalam bukunya Hegemoni
Kristen-Barat dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, bahwa terdapat tiga
persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan dalam tafsir al-Qur’an: pertama,
Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga.
Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa lepas dari
kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun budaya
masyarakat pada saat teks itu dilahirkan; kedua, hermeneutika cenderung
memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang
sifatnya transenden (ilahiyyah); ketiga, aliran hermneutika sangat
plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada
gilirannya menjadi repot untuk diterapkan.[21]
Dengan
demikian, apabila hermeneutika diaplikasikan sebagai metode tafsir “yang lain”
untuk menafsiri al-Qur’an tidaklah tepat, melihat beberapa pandangan yang
dikemukakan Adian Husaini di atas. Juga dengan mempertimbangkan pudarnya
sakralitas teks al-Qur’an, karena hermeneutika itu sendiri memposisikan teks
sebagai produk budaya yang memiliki keniscayaan untuk merekonstruksi makna teks
sedemikian rupa secara relatif sesuai kebutuhan penafsir dan tidak terlepas
dari subyektifitas penafsir tersebut. Akan tetapi, Lain halnya bagi mereka yang
menerima hermeneutika sebagai salah satu metode tafsir. Mereka berupaya
mengintegrasikan hermeneutika dalam kajian tafsir ataupun ulumul tafsir.
Hermeneutika
meniscayakan adanya beberapa teori yang sejalan, untuk kemudian diaplikasikan
ke dalam penafsiran al-Qur’an. Pertama, teori kesadaran sejarah dan
teori pra-pemahaman dan kehati-hatian (dalam menafsirkan teks al-Qur’an); kedua,
teori fusion of horizon; ketiga, teori aplikasi (Anwendung)
dan interpretasi ma’na cum-maghza, di mana ketiganya memiliki fokus yang
berbeda satu sama lain.
1.
Teori
kesadaran sejarah dan teori pra-pemahaman dan kehati-hatian (dalam menafsirkan
teks al-Qur’an) terfokus kepada, bahwa seorang penafsir harus berhati-hati
dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkannya sesuai dengan kehendaknya yang
semata-mata berasal dari pra-pemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah
(pengetahuan awal, pengalaman, dll.). Sejatinya, hal ini meniscayakan adanya
keharusan bagi penafsir untuk berhati-hati dalam penafsiran teks, rambu-rambu
yang diberikan nabi Muhammad saw. Adalah “barangsiapa yang menafsirkan
al-Qur’an dengan ra’y-nya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.”
Terlebih al-Ahwadzi mengemukakan bahwa larangan atas dua hal –sebagaimana
dikemukakan oleh Sahiron. Pertama, penafsir al-Qur’an tidak boleh
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tabiat dan keinginannya atau hawa nafsutnya
(min thabi’hi wa hawahu). Kedua, seorang penafsir tidak boleh
tergesa-gesa dalam menafsirkan suatu teks al-Qur’an secara literal (bi-zhahir
al-‘arabiyyah), tanpa mencari tahu keterangan-keterangan dari riwayat yang
terkait dengan teks yang hendak ia tafsiri. Sehingga, dalam menafsirkan
al-Qur’an dibutuhkan adanya pengetahuan yang menyeluruh tentang teks tersebut
dan yang melingkupinya, serta tidak tergesa-tergesa dalam menafsirkannya, untuk
menghindari pra-pemahaman yang dipengaruhi “subyektivitas negatif” penafsir.
2.
Teori
fusion of horizons, adalah asimilasi horizon-horison. Gadamer menegaskan
bahwa dalam proses penafsiran terdapat dua horizon utama yang harus
diperhatikan dan diasimilasi, yakni horizon teks dan horizon penafsir. Horizon
teks, atau bisa saja disebut dengan Weltanschauung (‘pandangan dunia’)
teks hanya bisa diketahui dengan melakukan apa yang disebut oleh al-Khulli
dengan dirasat ma fi an-nashsh (studi atas sesuatu yang ada di dalam
teks) dan dirasat ma hawl al-nashsh (studi atas sesuatu yang melingkupi
teks). Sedangkan horizon penafsir adalah reaktualisasi dari nilai yang
terkandung setelah dilakukannya analisis teks sebagaimana dikemukakan di atas.
3.
Teori
aplikasi (Anwendung) dan interpretasi ma’na cum-maghza, adalah
mereaktualisasi/reinterpretasi atau melakukan pengembangan penafsiran setelah
penafsir menemukan makna dari sebuah teks pada saat teks tersebut muncul,
dengan tetap memperhatikan kesinambungan “makna baru” ini dengan makna asal
sebuah teks. Dengan kata lain, teori ini menginterpretasi ulang teks yang ada,
dengan memperhatikan aspek historis dan tersurat, serta mempertimbangkan makna
terdalam dari teks tersebut (maghza/maqashid al-syari’ah).[22]
Beberapa
teori di atas menjadikan fungsi hermeneutika semakin jelas bahwa sebagai sebuah
metode penafsiran “yang lain“, ia tidak serta merta dapat diaplikasikan dalam
penafsiran al-Qur’an. Akan tetapi, kebutuhan akan alur historis teks,
pengalaman pembaca, pertimbangan terhadap makna “luar” (ma’na al-zhahir)
dan makna dasar/inti (ma’na al-bathin) juga diberikan porsi yang proporsional
sehingga maksud yang dituju oleh teks tersebut dapat dipahami secara
komprehensif dan aktual sesuai dengan perkembangan zaman.
E.
Dampak Hermeneutik
Hermeneutika, sebagai sebuah metode
pentafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat
ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia
berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks
tersebut, sama ada horizon pengarang, horizon pembaca, mahupun horizon teks itu
sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika
memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni
teks, konteks, dan kontektualisasi. Jadi, ketika konsep teks al-Quran
dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai “Kalam Allah” maka al-Quran akan diperlakukan sebagai “teks bahasa” dan “produk budaya” sehingga bisa dipahami melalui kajian
historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasulullah dan para sahabat beliau
mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat al-Quran dalam kehidupan
mereka. Dengan pembongkaran al-Quran sebgaai “Kalam Allah”, maka barulah metode hermeneutika
memungkinkan digunakan untuk memahami al-Quran. Metode ini memungkinkan pentafsiran al-Quran menjadi biasa dan disesuaikan dengan tuntutan
nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat).[23] Inilah dampak dari penerapan hermeneutika
sebagai metode dalam pentafsiran al-Quran.
IV.
KESIMPULAN
A.
Hermeneutika
adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah
ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif
yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembacanya.
B. Prosedur kerja hermeneutika bisa dikatakan bergerak dalam tiga horison,
yaitu horison pengarang, horison teks dan horison penerima atau pembaca.
C. Menurut pandangan yang kontra dengan hermeneutik mengatakan bahwa terdapat
tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan dalam tafsir al-Qur’an: pertama,
Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Kedua,
hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan
abai terhadap hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyyah). Ketiga, aliran
hermneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat
relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan
D. Menurut pandangan yang kontra dengan hermeneutik mengatakan; hermeneutika
meniscayakan adanya beberapa teori yang sejalan, untuk kemudian diaplikasikan
ke dalam penafsiran al-Qur’an. Pertama, teori kesadaran sejarah dan
teori pra-pemahaman dan kehati-hatian (dalam menafsirkan teks al-Qur’an); kedua,
teori fusion of horizon; ketiga, teori aplikasi (Anwendung)
dan interpretasi ma’na cum-maghza, di mana ketiganya memiliki fokus yang
berbeda satu sama lain.
E. Dampak tafsir hermeneutik adalah al-Quran akan diperlakukan sebagai “teks bahasa” dan “produk budaya” sehingga bisa dipahami melalui kajian
historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasulullah dan para sahabat beliau
mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat al-Quran dalam kehidupan
mereka. Dengan pembongkaran al-Quran sebgaai “Kalam Allah”, maka metode hermeneutika memungkinkan pentafsiran al-Quran menjadi biasa dan disesuaikan dengan tuntutan
nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat).
V.
PENUTUP
Demikan makalah yang dapat kami susun, kami menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami harapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca, supaya pada penyusunan makalah berikutnya bisa
lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi berbagai pihak. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Faiz,
Fakhruddin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial,
Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.
Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan,
Jakarta: Teraju, 2004.
Husaini, Adian
MA (VCD), Bahaya Hermeneutika Dalam Menafsirkan al-Quran, Lembaga
Pengajian Perbandingan Agama, LP2A. Lihat insistnet.com.
, Hegemoni
Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Gema
Insani, 2006.
Kuswaya, Adang,
Metode Tafsir Kontemporer Model Pendekatan Hermeneutika Sosio-Tematik dalam
Tafsir Al Qur’an Hasan Hanafi, Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2011.
Mudjia Raharjo, Hermeneutika, Malang: UIN Malang Press, 2007.
Muzairi, Hermeneutik Dalam Pemikiran Islam, Yokyakarta:
Islamika, 2003.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Mizan:
Bandung, 2006.
Syamsuddin,
Sahiron, dkk. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya.
Yogyakarta: Islamika, 2003.
,
Sahiron, Hermenutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2009.
http//ARIFINJAMIL/PERMASALAHANHERMENEUTIKADALAMTAFSIRAL-QURAN.htm.
20 Nopember 2014.
http//MembincangSeputarProKontraHermeneutikadalamStudiQuranafifrizqonhaqqi.htm.
diakses 10 November 2014.
No comments:
Post a Comment