Tuesday, September 20, 2016

TAFSIR HERMENEUTIKA

TAFSIR HERMENEUTIKA
I.         PENDAHULUAN
Bagi umat Islam, al-Qur’an adalah kitab suci yang diyakini secara konsensus (ijma’) otentisitas dan orisinalitasnya sebagai hudan li al-nas dan rahmatan li al-alamin. Sebagai kitab suci yang memiliki posisi sangat penting bagi kehidupan manusia dan yang relevan bagi setiap ruang dan waktu ia senantiasa ditafsirkan dan ditafsirkan ulang. Sebagaimana diperkenalkan kepada kita, al-Qur’an adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakikatnya adalah tanda dan simbol yang tampak. Namun, simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tetapi tersirat, sebagaimana diperkenalkan konsep tafsir dan ta’wil. Hubungan antara keduanya, antara makna tersurat dan makna tersirat, terjalin sedemikian rupa, hingga bila tanda dan simbol itu dipahami oleh pikiran, maka makna yang tersirat Insyaallah akan dipahami pula oleh jiwa seseorang.[1]
Munculnya berbagai pendekatan baru dalam upaya memahami al-Qur’an, jelas membuktikan adanya dinamika pada diri umat Islam dalam upaya memahami universalitas kitab sucinya. Hermeneutika misalnya, merupakan salah satu pendekatan eksegesis (penafsiran) kontemporer dalam diskursus ulum al-Qur’an yang banyak mendapat sorotan para pemerhati al-Qur’an.
Sejak hermeneutika menjadi bagian dari upaya pemahaman atas al-Qur’an, pemikiran-pemikiran yang muncul terkait dengan pemaknaan kitab suci itu pun semakin progressif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam pendekatan hermeneutik ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang “sakral”. Di mata hermeneutik, semua ayat bisa “dipahami” betapapun harus “mengobrak-abrik” pemaknaan yang telah mapan selama berabad-abad, bahkan terhadap al-Qur’an sendiri. Betapapun tradisi ta’wil sudah cukup lama dalam sejarah umat Islam, namun pendekatan hermeneutik menawarkan sesuatu yang baru. Berikut akan diterangkan tentang tafsir hermeneutika.
II.      RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimana pengertian tafsir hermeneutik?
B.       Bagaimana prinsip penafsiran pendekatan hermeneutik?
C.       Bagaimana contoh penafsiran dengan pendekatan hermeneutik?
D.       Bagaimana pro kontra metode hermeneutik?
E.        Bagaimana bahaya tafsir hermeneutik?
III.   PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hermeneutik
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein yang berarti menafsirkan atau hermenia yang berarti penafsiran. Istilah tersebut merujuk kepada seorang tokoh mitologis yang disebut Hermes, yaitu seorang utusan dewa yang bertugas menerjemahkan pesan Yupiter yang menggunakan bahasa langit agar lebih mudah dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa bumi. Dalam tradisi yang berbahasa Latin, Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius, sementara dalam literatur Islam, Hermes adalah Nabi Idris yang dikenal sebagai orang pertama mengetahui cara menulis, memiliki kemampuan tekhnologi (sina’ah), kedokteran, astrologi, sihir dan lain-lain. Di kalangan Yahudi dalam mitologi Mesir Kuno, Hermes dikenal sebagai dewa Toth yang tidak lain adalah nabi Musa.[2] Dalam bahasa Arab arti yang sepadan dengan hermeneutika adalah tafsir, takwil, syarh dan bayan.[3]
Sedangkan secara termenologi, dalam makna umum hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Dan secara umum hermeneutika diderivikasikan kepada tiga pengertian. Pertama, pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir. Kedua, usaha mengalihkan bahasa asing yang gelap makna kedalam bahasa lain yang dapat dimengerti oleh pembaca. Ketiga, pengungkapan pikiran yang samar diubah menjadi bentuk ungkapan yang jelas.
Zygmunt Bauman mengatakan bahwa hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembacanya.[4] Mudjia juga mengatakan bahwa hermeneutika adalah upaya peralihan dari sesuatu yang gelap ke sesuatu yang terang.[5]
Sedangkan menurut Nurcholis Madjid, dalam bukunya Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa hermeneutika ialah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur’an dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah hanya makna lahiriah dari kata-kata teks suci itu, tetapi lebih-lebih “makna dalam” (batin, “inward meaning”) yang dikandungnya.[6]
Pengertian hermeneutika yang dikemukakan oleh para ahli diatas, secara umum, sangat identik dengan ilmu Tafsir dalam tradisi studi al-Qur’an. Bahkan kalau merujuk kepada definisi yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid, pengertian hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir tapi juga ta’wil. Tafsir artinya mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks, sedangkan takwil menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal dari gagasan yang terbungkus dalam teks.[7]

B.   Prinsip Penafsiran Pendekatan Hermeneutik
Menurut Komaruddin Hidayat, dalam hermeneutika ada dua mazhab, yaitu mazhab hermeneutika transendental dan mazhab historis-psikologis. Yang pertama berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Yang kedua berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representatif oleh kehadiran teks.[8]
Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu:
1.    Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber asal dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes.
2.    Perantara atau penafsir (Hermes).
3.    Penyampaian pesan kepada audien agar bisa dipahami.[9]
Bisa dikatakan ketiga unsur inilah nantinya yang akan menjadi tiga unsur utama dalam hermeneutika, yaitu sifat-sifat teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks dan bagaimana pemahaman, penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima, dan menafsirkan teks.
Asumsi paling mendasar dari hermeneutika ini sebenanya telah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup manusia.[10]
Adapun pada tataran praksisnya, hermeneutika dapat dibagi menjadi tiga bentuk:
1.    Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami (Hermeneutical Theory)
Hermeneutika jenis pertama ini adalah hermeneutika teoritis. Dalam klasifikasi ini hermeneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu? Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teori. Tentu saja sebagaimana asumsi awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermaneutika dalam kelompok pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Selain pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti bagaimana makna teks secara morfologis, leksikologis, dan sintaksis perlu pula pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa teks itu berasal ? Untuk tujuan apa, dalam kondisi apa dan bagaimana kondisi pengarangnya ketika teks itu tersebut disusun ? dan lain sebagainya.
2.    Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman (Hermenetiucal Philosophy)
Dalam hermeneutika jenis kedua ini, fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebagainya termasuk dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai prasyarat eksistensial manusia.
3.    Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Hermeneutika jenis ketiga ini dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih jauh dari hermeneutika jenis kedua, bahkan dapat dikatakan bahwa secara prinsipil obyek formal yang menjadi fokus kajiannya adalah sama. Yang membedakan hermeneutika jenis ketiga dengan hermeneutika jenis kedua adalah penekanan hermeneutika jenis ketiga ini terhadap determinasi-determinasi historis dalam proses pemahaman, serta sejauh mana determinasi-determinasi tersebut sering memunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana, termasuk juga penindasan-penindasan sosial, budaya, dan politik akibat penguasaan otoritas pemaknaan dan pemahaman oleh kelompok tertentu.[11]
Memahami teks dalam hermeneutika kritis tidaklah sekedar memahami makna teks itu sendiri, melainkan mencakup pada wilayah pembongkaran persepsi dari sebuah pengetahuan interpretasi maupun metode interpretasi yang sudah dianggap mapan, dalam hal ini adalah tentang hakikat teks al-Qur’an. Selain itu, hal ini pun mencoba juga menyingkap distorsi dan ketimpangan yang mungkin terjadi ketika menimbang dan melakukan kegiatan serta interpretasi. Apabila dikaitkan dengan teks al-Qur’an, maka kajian kritis dari hermeneutika ini terfokus pada analisis dan kritik wacana teks al-Qur’an.[12]
Dengan prosedur kerja dan asumsi-asumsi semacam yang digambarkan diatas, maka hermeneutika bisa dikatakan bergerak dalam tiga horison, yaitu horison pengarang, horison teks dan horison penerima atau pembaca. Atau dalam istilah Komaruddin, ketiga variable ini disebut dengan the world of the text, the world of the author, dan the world of the reader.[13] Sementara secara prosedural, langkah kerja hermeneutika itu menggarap wilayah teks, konteks dan kontekstualisasi, baik yang berkenaan dengan aspek operasional metodologisnya maupun dalam dimensi epistemologis penafsirannya. Hermeneutika jenis pertama dapat dikatakan menekankan proses pemahaman dalam dua horison, yaitu dalam horison pengarang dan horison teks ; sementara hermeneutika jenis kedua dan jenis ketiga memfokuskan kepada horison pembaca. Hermeneutika jenis pertama berusaha melacak bagaimana teks tersebut dipahami oleh pengarangnya dan kemudian pemahaman pengarang itulah yang dipandang sebagai pemaknaan yang paling akurat terhadap teks, sementara hermeneutika jenis kedua dan jenis ketiga lebih melihat bagaimana teks itu dipahami oleh pembaca, karena pengarang tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah diproduksinya, sehingga teks pada dasarnya mutlak milik pembacanya untuk dipahami dan dihayati seperti apapun keinginannya.[14] Dalam kondisi yang demikian, sangat logis bila secara konseptual hermeneutik mengisyaratkan bahwa tidak ada suatu teks yang tidak dapat ditafsirkan oleh hermeneut. Di sinilah bedanya dengan ilmu tafsir, di mana diajarkan bahwa tidak semua teks (ayat) al-Qur’an dapat dipahami maknanya secara jelas.[15]

C.  Contoh Penafsiran Pendekatan Hermeneutik
Diantara contoh dari hermeneutika al-Qur’an adalah penafsiran Syahrur terhadap surat al-Nisa’ ayat 13-14 yang melahirkan sebuah teori baru dalam penetapan hukum. Teori ini ia sebut dengan Nazariyat al-Hudud (teori batas). Redaksi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
šù=Ï? ߊrßãm «!$# 4 ÆtBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qßuur ã&ù#Åzôム;M»¨Zy_ ̍ôfs? `ÏB $ygÏFóss? ㍻yg÷RF{$# šúïÏ$Î#»yz $ygŠÏù 4 šÏ9ºsŒur ãöqxÿø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇÊÌÈ   ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtƒur ¼çnyŠrßãn ã&ù#Åzôム#·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ  

Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”[16]
Syahrur mencermati penggalan ayat “تلك حدودلله” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Allah semata. Dia berpendapat bahwa otoritas penetapan hukum (haqq al-tasyri’) hanya dimiliki Allah, sedangkan Muhammad Saw, walaupun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (al-syari’). Muhammad adalah seorang pelopor ijtihad dalam Islam.
Pendapat ini didasarkan pada pemahaman penggalan ayat setelahnya “ويتعد حدوده”, yang berarti “dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya.” Kata ganti (dlamir) “hu” pada penggalan ayat di atas merujuk kepada Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap akan lebih menegaskan pemahaman ini : “Dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya serta melanggar batas-batas ketetapan hukum-Nya”. Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas penetapan hukum hanya pada Allah saja, seandainya Nabi Muhammad berhak atau memiliki otoritas tasyri’ tentulah ayat tersebut akan berbunyi, “ويتعد حدودهما”, yang artinya, “dan melanggar batas-batas penetapan hukum keduanya (Allah dan rasul-Nya).[17]
Selain itu mengenai penafsiran terhadap Firman Allah S.W.T dalam surat al-Maidah ayat: 90 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ    
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.[18] (QS. Al-Maidah: 90)
Menurut Nasr Abu Zay ayat tersebut diatas secara konteks pada masa itu memang diharamkan, kerana kondisi masyarakat Arab pada saat itu cuacanya sangat panas, tetapi dalam kondisi sekarang bahkan negara-negara yang memiliki cuaca dingin dan khamar itu dapat menghangatkan badan maka khamar tersebut hukumnya halal, maka jikalau begini cara penafsirannya hanya melihat secara konteksnya akhirnya mereka juga akan mengatakan babi itu juga halal untuk dikonsumsi.[19]

D.  Pro Kontra Metode Hermeneutik
Perdebatan tentang penerapan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an hingga saat ini “sulit” sekali untuk surut di kalangan ulama dan para sarjana Islam. Pro dan kontra pun terjadi dan tidak dapat dihindari. Sebagian dari mereka menolak secara totalitas, sebagian yang lain menerimanya secara keseluruhan dan sebagian yang lain lagi berusaha menengah-nengahi perbedaan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa sebagian teori hermeneutika dipandang acceptable dalam kajian keislaman.[20]
Bagi yang menolak, mereka secara umum berpandangan bahwa hermeneutika tidak layak untuk diaplikasikan ke dalam (tafsir) al-Qur’an. Mereka berpijak kepada sejarah di mana hermeneutika dilahirkan pertama untuk menafsirkan Bible. Selain itu, sakralitas al-Qur’an tidak bisa disamakan atau bahkan dibandingkan dengan Bible.
Dalam hal ini, Adian Husaini mengemukakan, sebagaimana terdapat dalam bukunya Hegemoni Kristen-Barat dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, bahwa terdapat tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan dalam tafsir al-Qur’an: pertama, Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan; kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyyah); ketiga, aliran hermneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan.[21]
Dengan demikian, apabila hermeneutika diaplikasikan sebagai metode tafsir “yang lain” untuk menafsiri al-Qur’an tidaklah tepat, melihat beberapa pandangan yang dikemukakan Adian Husaini di atas. Juga dengan mempertimbangkan pudarnya sakralitas teks al-Qur’an, karena hermeneutika itu sendiri memposisikan teks sebagai produk budaya yang memiliki keniscayaan untuk merekonstruksi makna teks sedemikian rupa secara relatif sesuai kebutuhan penafsir dan tidak terlepas dari subyektifitas penafsir tersebut. Akan tetapi, Lain halnya bagi mereka yang menerima hermeneutika sebagai salah satu metode tafsir. Mereka berupaya mengintegrasikan hermeneutika dalam kajian tafsir ataupun ulumul tafsir.
Hermeneutika meniscayakan adanya beberapa teori yang sejalan, untuk kemudian diaplikasikan ke dalam penafsiran al-Qur’an. Pertama, teori kesadaran sejarah dan teori pra-pemahaman dan kehati-hatian (dalam menafsirkan teks al-Qur’an); kedua, teori fusion of horizon; ketiga, teori aplikasi (Anwendung) dan interpretasi ma’na cum-maghza, di mana ketiganya memiliki fokus yang berbeda satu sama lain.
1.    Teori kesadaran sejarah dan teori pra-pemahaman dan kehati-hatian (dalam menafsirkan teks al-Qur’an) terfokus kepada, bahwa seorang penafsir harus berhati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari pra-pemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah (pengetahuan awal, pengalaman, dll.). Sejatinya, hal ini meniscayakan adanya keharusan bagi penafsir untuk berhati-hati dalam penafsiran teks, rambu-rambu yang diberikan nabi Muhammad saw. Adalah “barangsiapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y-nya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” Terlebih al-Ahwadzi mengemukakan bahwa larangan atas dua hal –sebagaimana dikemukakan oleh Sahiron. Pertama, penafsir al-Qur’an tidak boleh menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tabiat dan keinginannya atau hawa nafsutnya (min thabi’hi wa hawahu). Kedua, seorang penafsir tidak boleh tergesa-gesa dalam menafsirkan suatu teks al-Qur’an secara literal (bi-zhahir al-‘arabiyyah), tanpa mencari tahu keterangan-keterangan dari riwayat yang terkait dengan teks yang hendak ia tafsiri. Sehingga, dalam menafsirkan al-Qur’an dibutuhkan adanya pengetahuan yang menyeluruh tentang teks tersebut dan yang melingkupinya, serta tidak tergesa-tergesa dalam menafsirkannya, untuk menghindari pra-pemahaman yang dipengaruhi “subyektivitas negatif” penafsir.
2.    Teori fusion of horizons, adalah asimilasi horizon-horison. Gadamer menegaskan  bahwa dalam proses penafsiran terdapat dua horizon utama yang harus diperhatikan dan diasimilasi, yakni horizon teks dan horizon penafsir. Horizon teks, atau bisa saja disebut dengan Weltanschauung (‘pandangan dunia’) teks hanya bisa diketahui dengan melakukan apa yang disebut oleh al-Khulli dengan dirasat ma fi an-nashsh (studi atas sesuatu yang ada di dalam teks) dan dirasat ma hawl al-nashsh (studi atas sesuatu yang melingkupi teks). Sedangkan horizon penafsir adalah reaktualisasi dari nilai yang terkandung setelah dilakukannya analisis teks sebagaimana dikemukakan di atas.
3.    Teori aplikasi (Anwendung) dan interpretasi ma’na cum-maghza, adalah mereaktualisasi/reinterpretasi atau melakukan pengembangan penafsiran setelah penafsir menemukan makna dari sebuah teks pada saat teks tersebut muncul, dengan tetap memperhatikan kesinambungan “makna baru” ini dengan makna asal sebuah teks. Dengan kata lain, teori ini menginterpretasi ulang teks yang ada, dengan memperhatikan aspek historis dan tersurat, serta mempertimbangkan makna terdalam dari teks tersebut (maghza/maqashid al-syari’ah).[22]
Beberapa teori di atas menjadikan fungsi hermeneutika semakin jelas bahwa sebagai sebuah metode penafsiran “yang lain“, ia tidak serta merta dapat diaplikasikan dalam penafsiran al-Qur’an. Akan tetapi, kebutuhan akan alur historis teks, pengalaman pembaca, pertimbangan terhadap makna “luar” (ma’na al-zhahir) dan makna dasar/inti (ma’na al-bathin) juga diberikan porsi yang proporsional sehingga maksud yang dituju oleh teks tersebut dapat dipahami secara komprehensif dan aktual sesuai dengan perkembangan zaman.

E.   Dampak Hermeneutik
Hermeneutika, sebagai sebuah metode pentafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, sama ada horizon pengarang, horizon pembaca, mahupun horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontektualisasi. Jadi, ketika konsep teks al-Quran dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai Kalam Allah maka al-Quran akan diperlakukan sebagai teks bahasa dan produk budaya sehingga bisa dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasulullah dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat al-Quran dalam kehidupan mereka. Dengan pembongkaran al-Quran sebgaai Kalam Allah, maka barulah metode hermeneutika memungkinkan digunakan untuk memahami al-Quran. Metode ini memungkinkan pentafsiran al-Quran menjadi biasa dan disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat).[23] Inilah dampak dari penerapan hermeneutika sebagai metode dalam pentafsiran al-Quran.
IV.   KESIMPULAN
A.    Hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembacanya.
B.     Prosedur kerja hermeneutika bisa dikatakan bergerak dalam tiga horison, yaitu horison pengarang, horison teks dan horison penerima atau pembaca.
C.     Menurut pandangan yang kontra dengan hermeneutik mengatakan bahwa terdapat tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan dalam tafsir al-Qur’an: pertama, Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyyah). Ketiga, aliran hermneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan
D.    Menurut pandangan yang kontra dengan hermeneutik mengatakan; hermeneutika meniscayakan adanya beberapa teori yang sejalan, untuk kemudian diaplikasikan ke dalam penafsiran al-Qur’an. Pertama, teori kesadaran sejarah dan teori pra-pemahaman dan kehati-hatian (dalam menafsirkan teks al-Qur’an); kedua, teori fusion of horizon; ketiga, teori aplikasi (Anwendung) dan interpretasi ma’na cum-maghza, di mana ketiganya memiliki fokus yang berbeda satu sama lain.
E.     Dampak tafsir hermeneutik adalah al-Quran akan diperlakukan sebagai teks bahasa dan produk budaya sehingga bisa dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasulullah dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat al-Quran dalam kehidupan mereka. Dengan pembongkaran al-Quran sebgaai Kalam Allah, maka metode hermeneutika memungkinkan pentafsiran al-Quran menjadi biasa dan disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat).

V.      PENUTUP
Demikan makalah yang dapat kami susun, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, supaya pada penyusunan makalah berikutnya bisa lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi berbagai pihak. Amin












DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.
Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004.
Husaini, Adian MA (VCD), Bahaya Hermeneutika Dalam Menafsirkan al-Quran, Lembaga Pengajian Perbandingan Agama, LP2A. Lihat insistnet.com.
, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Gema Insani, 2006.
Kuswaya, Adang, Metode Tafsir Kontemporer Model Pendekatan Hermeneutika Sosio-Tematik dalam Tafsir Al Qur’an Hasan Hanafi, Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2011.
Mudjia Raharjo, Hermeneutika, Malang: UIN Malang Press, 2007.
Muzairi, Hermeneutik Dalam Pemikiran Islam, Yokyakarta: Islamika, 2003.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Mizan: Bandung, 2006.
Syamsuddin, Sahiron, dkk. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika, 2003.
, Sahiron, Hermenutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009.
http//ARIFINJAMIL/PERMASALAHANHERMENEUTIKADALAMTAFSIRAL-QURAN.htm. 20 Nopember 2014.
http//MembincangSeputarProKontraHermeneutikadalamStudiQuranafifrizqonhaqqi.htm. diakses 10 November 2014.


No comments:

Post a Comment